Pertemuan

56 9 4
                                    

Sebuah kereta kuda memasuki pelataran kamp pasukan. Setiap pasang mata terkagum melihat setiap ornamen mewah bertatahkan emas yang ditarik oleh keempat kuda gagah peliharaan keluarga terkaya di kota Jogjakarta.

Bangunan megah segera menyambut mereka tatkala kereta kuda itu terhenti di sebuah bangunan tinggi khas aksen belanda kuno.

Beberapa tentara KNIL terlihat menuruni setiap anak tangga dengan cepat, seakan tengah diburu oleh suatu hal yang penting. Walaupun begitu, mereka tetap tidak dapat mengalihkan pandangan ketika telah sadar akan kedatangan putri semata wayang sang Jendral Belanda yang telah sangat terkenal akan kecantikannya.

Seakan tidak ingin kekaguman mereka terhenti, seorang wanita bersurai pirang segera keluar dari sisi pintu, dengan kedua jongos yang menghantarkannya masuk kedalam.

"Mengapa mereka semua terlihat sibuk Bi Asih?"

Gadis berusia belasan tahun itu memperhatikan setiap pergerakan para tentara KNIL yang terburu melewatinya. Ia sedikit menaikkan kipas kecilnya ketika merasa dirinya telah menjadi pusat perhatian.

"Mungkin karena pasukan Kanjeng Diponegoro Non.."

Kening gadis itu sedikit berkerut. Ia memang sering mendengar tentang perihal itu akhir akhir ini. Terutama dengan perang gerilya yang menjadi strategi khusus pasukan Diponegoro.

Tidak seperti biasanya para tentara disibukkan seperti ini, biasanya hanya terlihat para pejabat pribumi yang keluar masuk ruangan sang ayah.

Beberapa Jongos dan Bedinde yang mengikutinya dari belakang kini terhenti. Mereka seakan telah mengetahui batasan status sosial diantara mereka dengan noni Belanda yang sangat dihormati bahkan di kalangan Londo sekalipun.

Tok tok..

Gadis bersurai pirang keemasan itu mendongakkan kepalanya di tepi pintu yang telah terbuka setengah, mengintip kehadiran seseorang yang tengah berkutat dengan berbagai berkas penting.

"Apakah papa sibuk?"

Langkah mungil yang dibalut flatshoes cantik itu berlari memasuki sebuah ruangan megah berbalut nuansa Belanda. Manik biru kehijauan menawannya terfokus kepada seorang lelaki paruh baya di hadapannya yang terlihat sibuk dengan tatapan ragu sebelum mendudukkan tubuh mungilnya di atas pangkuan sang ayah.

Pieter tersenyum tipis. Ia segera meletakkan cerutu panjang yang berisi dedaunan tembakau kering di asbak. Kemudian melepaskan kacamata tuanya. Membuat kesan tua segera terlepas dari dirinya yang kini telah berusia hampir setengah abad.

"Apakah ada seseorang yang mengganggumu?"

Senandung pelan keluar dari bibir kemerahan alami Stella seketika terhenti. Tak lama kemudian dia mengerucutkan bibir bulatnya lalu menatap ayahnya yang hanya terdiam seakan tahu apa yang diinginkan putrinya.

Hembusan nafas pelan beraroma tembakau menyapu lembut pipi kemerahan Stella, membuat gadis itu mendongak sekilas.

"Apapun yang Ibumu larang, hal itu pasti untuk kebaikanmu Stella."

Elusan lembut membuat Stella mendongak. Ia menatap sang ayah dengan binar permusuhan yang tidak dapat dihindari.

"Tidak semua ayah. Ibu selalu melarang semua hal yang kuinginkan. Ia hanya menganggapku piala yang bersinar." ujar Stella beberapa saat kemudian. Amarahnya masih belum reda, ia memalingkan wajahnya kearah lain, enggan menatap sang ayah yang ia yakini pasti membela ibunya.

Pieter hanya bisa menghela nafas nya ketika melihat Stella yang sedang merajuk. Putri semata wayangnya ini memang sangat manja meskipun usianya sudah menginjak 17 tahun. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana nantinya saat putri kecilnya akan menikah kelak. Dan tentu saja, dengan pria pilihan yang setara dengan putri seorang jenderal hindia belanda.

Save Me My Angel!Where stories live. Discover now