30. Sebuah Kesalahan

28.7K 3.2K 156
                                    

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, baik itu kesalahan kecil ataupun kesalahan fatal yang dapat menyebabkan kekecewaan. Erina tidak tahu perbuatannya ini termasuk kesalahan apa. Apa menunda untuk memiliki anak adalah kesalahan? Tentu saja tidak menurut Erina. Menjadi seorang Ibu harus memiliki kesiapan mental yang kuat seumur hidup, sama seperti menikah.

Lalu, apakah meminum pil pencegah kehamilan adalah sebuah kesalahan? Erina tidak tahu. Dua bulan bersama Arsa, Erina berhasil menyembunyikannya dengan baik. Seharusnya dia membahasnya bersama Arsa, tetapi kesibukan pria itu di awal pernikahan mereka membuat Erina selalu urung membahasnya dan hingga pernikahan mereka sudah hampir tiga bulan, Erina masih belum mau membahasnya.

Erina lupa, sesuatu yang terus disembunyikan juga akan ketahuan cepat atau lambat.

Malam itu Erina baru kembali dari penerbangannya selama 5 hari di Eropa, tentu saja dia bahagia. Erina membuka kunci rumahnya sambil bersenandung kecil, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Arsa tidak bisa menjemputnya sehingga Erina diantar oleh salah satu rekannya.

Saat Erina membuka pintu, lampu ruang tamu menyala dengan terang. Erina terlonjak kaget, tatapannya langsung bertemu dengan tatapan dingin Arsa.

"Mas? Urusan Mas udah selesai?" tanya Erina tersenyum lebar, dia melangkah mendekat untuk memeluk Arsa, tetapi suaminya itu beringsut mundur, memberikan gerakan penolakan yang kentara.

Erina cemberut.

"Iya deh, Aku mandi dulu," ucap Erina. Arsa masih tidak membuka suara.

"Kamu tidak ingin menjelaskan sesuatu?" tanya Arsa terdengar dingin. Kening Erina berkerut, dia menggelengkan kepalanya.

"Aku tutup pintu dulu."

"Termasuk tentang ini?"

Gerakan Erina yang hendak berbalik untuk menutup pintu terhenti, dia menatap Arsa lalu tatapannya jatuh pada botol obat berisi pil yang dia konsumsi sejak awal menikah dengan Arsa.

Jantung Erina mencelos. Seingatnya dia menaruh pil itu di laci nakas paling bawah yang jarang disentuh Arsa.

"Ini apa Erina?" tanya Arsa, suaranya terdengar tajam. Erina diam.

"Saya tanya, ini apa?" ulang Arsa menuntut penjelasan.

"Mas aku--"

"Jadi benar, ini pil pencegah kehamilan?" Arsa menatap Erina dengan sorot penuh kekecewaan, wajahnya memerah menahan amarah.

"Tiga bulan ini, kamu berhasil membuat saya menciptakan harapan kosong, Erina," ucap Arsa lagi. Pria itu tidak membentaknya, dan itu lebih menakutkan.

Wanita cenderung tidak ingin disalahkan, dan setelah disalahkan sebagian dari mereka akan berkelit, menolak untuk disalahkan.

"Aku belum ingin punya anak, Mas," ucap Erina. Arsa memejamkan matanya sejenak.

"Lalu kamu pikir kamu bisa bertindak semau kamu? Tanpa memberitahu saya. Saya suami kamu, pernikahan ini kita yang menjalaninya, seharusnya kamu memberitahu saya."

"Sejak awal nikah apa kita punya waktu untuk ngobrol?" Erina balik bertanya. Arsa menggelengkan kepalanya, merasa kecewa dengan sifat keras Erina.

"Jadi sejak awal ini salah saya? Oke, ini memang salah saya. Ini kan yang kamu inginkan? Saya benar-benar kecewa dengan kamu." Arsa melempar botol obat itu ke dinding hingga isinya berceceran di lantai, lalu tanpa mengucapkan apapun lagi Arsa bergegas keluar dari rumah.

Erina jatuh terduduk begitu mendengar deru motor Arsa terdengar semakin menjauh. Seharusnya bukan pertanyaan sialan itu yang dia berikan. Seharusnya dia minta maaf, iya kan?

PERTIWITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang