Catterina POV
Begitu mendengarnya secara langsung dari pria ini, seketika aku turut merasakan kesakitannya. Hatiku rasanya seperti teriris pisau.
Jari yang tergores pisau dapur atau lembaran buku saja walau hanya berupa sayatan kecil tapi sakitnya terasa sekali apalagi kasus penyiksaan yang dialami Felix.
Saat membaca cerita bagian masa lalu Felix di novel, aku sudah menaruh simpati padanya dan aku tidak tahu kalau saat mendengarnya secara langsung begini bisa membuatku menangis kencang dan terasa jauh lebih menyakitkan dua kali lipat.
Aku bisa langsung menyimpulkan bahwa pria ini menyedihkan, masa kecilnya begitu kelam dan pahit. Dia adalah anak yang haus kasih sayang orang tua terutama seorang ibu. Sungguh pria besar yang malang.
Aku bergerak mendekatinya, mengelus pelan rambut hitam legamnya dengan sedikit berjinjit. Aku masih sesenggukan tapi tidak separah tadi.
"-Kau sudah tumbuh dengan baik, nak. Ibu bangga padamu. Terima kasih sudah bertahan selama ini- Kalau saya ibu Yang Mulia, saya pasti akan mengatakan itu. Anda sudah berhasil melewatinya, Yang Mulia."
Felix tertegun, mata merahnya meneliti wanita itu dengan seksama. Perkataan yang keluar dari mulut Catterina begitu tulus, tidak pernah ada yang bersikap begini padanya selain mendiang ibu kandungnya.
Sudah lama dia tidak mendengar ketulusan dari orang lain dan ini menggelitik hatinya. Perasaan hangat mulai perlahan menyeruak masuk ke rongga kosong di dalam lubuk hatinya.
Tangannya bergerak memegang tangan Catterina yang berada di pucuk kepalanya, membawanya ke pipi sembari memejamkan mata.
"Hangat," ucapnya sembari tersenyum kecil yang membuat sang empunya tangan cukup terkejut.
"Ya--Yang Mulia?" Aku mengerjapkan mataku, menatapnya bingung.
Hangat apanya? Orang kedinginan begini, dari mana hangatnya tanganku?! Pikirku.
Aku yang mengenakan jubah tambahan tetap saja masih bisa merasakan dinginnya udara malam menusuk tulang, sedangkan pria ini hanya memakai kemeja putih tipis dengan kancing yang tidak terkancing rapat, heh.
Walau bagus sih bisa cuci mata sebentar tapi tetap saja ini tidak benar. Dia ingin sekali masuk angin? Terus kenapa dia bisa tersenyum tiba-tiba? Agak aneh sih karena biasanya dia selalu mengeluarkan seringai sinis bukan senyuman kecil seperti ini.
Ah, aku biarkan saja deh. Aku menuntun satu tanganku yang bebas ke pipinya. Menyentuh pipi mulus itu yang dulu merupakan angan-anganku saat membaca novel tapi sekarang sudah terwujud, hehe. Aku diam-diam berteriak girang dalam hati.
"Jangan biarkan satu pipi Anda saja yang hangat sedangkan pipi sebelahnya tidak," kataku tanpa bermaksud modus ya kawan-kawan.
Dia membuka matanya, iris merahnya menatapku intens yang membuatku gugup tiba-tiba. Padahal aku sering berhadapan dengan pria tampan di sini tapi kalau ditatap lekat begitu kan, aku mana kuat, hiks.
Lalu dipegangnya kedua tanganku yang berada di pipinya dan.... Grep! Dibawanya kedua tanganku melingkari pinggangnya secara tiba-tiba dengan terkunci sempurna. Aku membelalakkan mataku, bertambah bingung dengan tindakan tiba-tiba ini.
"Yang Mulia?" Kau kenapa, hah?
"Sstt... Biarkan seperti ini sebentar saja," bisiknya dengan nada rendah khasnya. Arghh.. aku lemah dengan suara bernada rendah yang terdengar sangat seksi itu.
Pria ini hobi sekali berbisik, mungkin ini sebabnya kenapa Lidya juga tergila-gila padanya (walau tidak dijelaskan secara spesifik sih di novel).
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaisar, Tolong Abaikan Saya! [END]
Fantasy[SUDAH TERBIT] [TIDAK TERSEDIA DI TOKO BUKU MANA PUN!] [PART LENGKAP!!] (Judul Alternatif di Fizzo : Male Lead, Please Ignore Me!) (Fantasy Series - Reinkarnasi #1) Aku adalah seorang pencinta buku terutama novel fantasi, oh jangan lupa juga penggem...