D U A

18 1 0
                                    

"Hei! Bangun!" bisik seseorang di atas ubun-ubun sembari menepuk lenganku.

Dengan setengah sadar kupaksa mataku untuk terbuka akibat seruan seseorang. Aku terkejut saat kepalaku bersandar pada bahu seseorang. Padahal aku sendirian, bukan? Dengan segera aku pun melepas sandaran ternyaman tersebut.

Dug!

"Aw!"

"Aw! Shhh,"

Kami berteriak kesakitan akibat kepalaku yang tidak sengaja memukul dagunya.

"Aduh! Maaf-maaf aku tidak sengaja," ucapku saat melihat ia kesakitan.

Tidak ada balasan apapun. Tiba-tiba dia segera beranjak meninggalkanku yang masih kesakitan juga akibat insiden kecil barusan. Tersadar karena kereta yang kutumpangi berhenti pada sebuah stasiun yang kutuju, tanpa menunggu lama lagi pun aku segera melangkahkan kaki untuk keluar dari kereta ini dan bergegas mencari seseorang yang tadi sempat kesakitan akibat ulahku.

Dengan sedikit berlari aku menerobos sekumpulan orang-orang. Mencari kesana-kemari berharap panca inderaku dapat menemukan sosoknya kembali dan meminta maaf. Iya! Aku harus meminta maaf pokoknya.

"Aduh kemana sih tuh orang!" gerutuku

Dari radius sekian meter aku melihat seseorang yang baru beberapa menit kesakitan karenaku.

"Hei—" aku menggantungkan teriakanku karena tidak tahu siapa nama yang hendak kupanggil.

"Ish bodoh," gerutuku pada diri sendiri.

Aku langsung berlari mengejar lelaki tersebut. Menerobos keramaian—lagi. Tubuhku meliuk-liuk bagaikan penari ulung melewati celah demi celah diantara ramai.

Hap!

Yes! Berhasil. Sorakku dalam hati.

Wajah puasku segera kupendam dalam-dalam saat melihat wajah penuh tanda tanyanya.

"Hmm... Maaf," ujarku seraya melepaskan tangan yang tidak sengaja kupegang saat menangkapnya.

"Ada apa?" tanyanya dengan ekspresi dingin.

Aku terkejut saat melihat luka robekan pada ujung bibirnya. Masa iya gara-gara kejedot kepalaku tadi, sih? Batinku.

"Hmm... I-itu... mau minta maaf." Cicitku tak berani menatap matanya.

Hening. Tak ada balasan apapun—lagi.

Aku mendongakkan kepala saat tidak ada respon apa-apa. Padahal ia masih berdiri tepat di depanku.

"Sekali lagi aku minta maaf, gara-gara aku tadi dagumu terbentur dengan kepalaku dan terimakasih karena telah meminjamkan bahumu," ucapku kemudian segera beranjak.

Syukurlah, ungkapan maaf sudah lolos dari mulutku. Diterima ataupun tidak setidaknya kewajibanku untuk meminta maaf sudah gugur.

Baru lima langkah aku berbalik arah, kurasakan ada tangan yang menarik pergelangan tanganku.

Aku menoleh untuk melihat siapa yang melakukannya.

"Kenapa langsung pergi, sih?!" ujarnya nampak kesal.

Aku pun kaget siapa orang yang menahan pergelangan tanganku ini, iya dia yang tadi tidak sengaja terkena pukulan kepalaku. Wajahku menampilkan mimik penuh tanda tanya. Apa maksudnya dia berkata demikian? Ah, aku ingat! Mungkin dia meminta pertanggungjawaban karena sebelah bibirnya terluka.

"Oh iya kak maaf aku lupa. Mau ke apotek sendiri atau aku saja yang belikan? Aku tidak keberatan sama sekali kalau harus ke apotek kok. Tapi, kamu harus menepi dan duduk dulu di sana!" aku menunjuk ke arah bangku tunggu.

DISOSIASI AFEKSIWhere stories live. Discover now