KANGEN

10.9K 1.3K 22
                                    

Come up to meet you, tell you I'm sorry ... You don't know how lovely you are

I had to find you, tell you I need you ... Tell you I set you apart

Tell me your secrets and ask me your questions.... Oh, let's go back to the start

Running in circles, coming up tails .... Heads on a science apart

Nobody said it was easy ... It's such a shame for us to part

Nobody said it was easy ... No one ever said it would be this hard

Mas Aksa masih tidak mau berbicara denganku. Nomor ku masih dia blokir. Ini bahkan sudah hari ketiga dia memberikan ku silent treatment. Aku memutar lagu di kamarku sambil masih bergelung dibalik selimut.

Aku rasanya kehilangan semangat untuk melakukan apapun. Mama bolak – balik menghampiriku ke kamar dan membawakan makanan apapun yang bisa ku telan.

Mas Aksa bahkan bertingkah lebih jahat daripada ketika aku menghukumnya dulu, karena menyembunyikan fakta tentang kejadian sesungguhnya antara dia, Nining dan Ibu.

Aku tahu, kesalahanku memang fatal. Tapi bahkan ini bukan mauku. Apakah dia tidak ingin berbicara padaku setidaknya sebentar saja?

Apakah dia tidak akan pernah memberikan ku kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya? Apakah kami akan seperti ini sampai entah kapan? Atau bahkan kami akan berpisah dalam keadaan seperti ini terus? Ini gila.

Aku bahkan belum sempat memberitahukan kehamilanku padanya. Apakah dia tidak akan pernah tahu kehadiran anaknya dalam rahimku? Anak yang selama ini selalu kami harapkan kehadirannya?

Dari kesemua pikiranku diatas, yang paling ingin ku pertanyakan adalah, apkah dia tidak ingin mengetahui kabarku bagaimana? Apakah aku sehat – sehat saja? apakah aku sakit?

Apakah hanya segini saja cinta Aksa Hananto padaku? Selesai? habis? Sudah? Hanya butuh satu kesalahan dari Ananta dan semuanya padam? Disaat kesalahannya padaku bertubi – tubi?

Aku menghela napasku resah, aku mengambil ponselku dan menelpon mbak Astrid. Jujur. Aku ingin mengamuk pada mbak Astrid. Dia yang membuatku dalam posisi ini. tapi mama juga mengingatkan ku, bahwa aku harus berusaha mengerti posisi mbak Astrid.

Semuanya terjadi begitu cepat untuk keluarga mas Aksa. Ibu minggat, pulang – pulang sakit, lalu meninggal. Seperti tidak ada waktu untuk mencerna satu persatu dari setiap kejadian.

Bahkan diantara mereka sendiri saja belum sempat saling bermaafan, atau setidaknya membangun memory yang manis disaat – saat terakhir ibu.

Setahuku, sampai sekarang mbak Astrid belum bisa ziarah kemakam ibu, karena arus pemakaman para korban Covid masih terus berdatangan. Terlebih mbak Astrid tidak mau mendulang risiko jatuhnya korban lagi dikeluarga nya.

Bapak dan dia sudah bersih, jadi dia tidak akan membawa bapak kemana – mana, kalau memang tidak karena keperluan yang mendesak.

Panggilan telepon ku sudah tersambung dengan mbak Astrid.

"assalamualaikum, dek" sapa mbak Astrid lembut seperti biasanya. Entah sejak kapan juga mbak Astrid mulai memanggilku adek. Mungkin karena sesuai ceritanya, kalau dia sangat mendambakan adik perempuan yang lucu.

Jelas aku terlihat sangat lucu dimatanya, usia kami terpaut 15 tahun. Untung dia masih cukup waras dengan tidak memakaikan ku pita – pita besar dikepala. Keluarga mas Aksa sepertinya memang mudah jatuh hati pada anak kecil? Menyeramkan.

"waalaikumsalam, mbak... ganggu gak?" tanyaku pada mbak Astrid, mbak Astrid hanya terkekeh pelan menanggapi.

"ya nggak dong, masa kamu telepon ganggu? Adek sehat ga?" tanya mbak Astrid padaku. Mbak Astrid rutin sekali menanyakan kabar kesehatanku, terlebih sejak aku mengabarkan diriku mengandung. Dia senang sekaligus sedih, karena mas Aksa tidak bisa mengetahui kabar gembira ini segera.

semua serba kilat (pandemic love story)Where stories live. Discover now