Awal

1.5K 273 54
                                    

Sosok berambut merah dengan tubuh yang mungil itu tergeletak tak bergerak di tanah. Kemeja flanel kebesaran yang dipakainya saat bertemu Severus terlihat robek disana-sini, memperlihatkan kulit pucat yang ternodai dengan darah dari luka-luka yang terlihat begitu baru dan menyakitkan.

Severus tak bisa menahan dirinya untuk tidak meringis melihat luka-luka itu dari dekat. Ia hanya bisa membuka jubah hitamnya dan menutupinya ketika ia membalikkan badan anak itu dengan  hati-hati.

Lily!

Dalam sejenak, ia merasa dirinya tak bisa bernafas dengan benar, tertarik oleh ingatan ketika ia memeluk tubuh mantan sahabatnya di malam yang dingin dengan tangisan si anak Potter dan dirinya mengiringi malam itu.

Wajah anak baptisnya benar-benar sangat identik dengan wajah mantan sahabatnya. Tak ada yang berbeda saat ia tidak membuka matanya.

Severus menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia mengangkat anak itu dekat ke dadanya dan berdiri. Bergerak cepat dan efisien mengikuti Dumbledore yang menerbangkan Harry di udara.

Ia berpikir sesaat di perjalanan, kenapa -Demi jenggot Merlin- ia tidak menggunakan sihir saja?

"Woah," Severus berkedip, tertarik kembali ke dunia nyata oleh suara Remianda, "ada apa dengan semua ini?" Kedua matanya tertuju pada sosok Remianda yang terlihat kebingungan menatap tumpukan buku ajaran yang tersusun rapi di atas meja tidurnya dengan beberapa alat tulis baru serta setumpuk surat yang diikat rapi disana.

Severus menatap ekspresi anak itu dengan seksama. Detak jantungnya berdetak dengan cemas, kepalanya dipenuhi dengan serangkaian pertanyaan;

Apa dia tidak menyukainya? Apa buku-buku itu terlihat usang? Apa ada bagian yang tergores?  Apa tinta dan bulu tulis tidak cocok dengannya? Apa tintanya tertumpah?  Kenapa dia hanya diam? Ada apa dengan ekspresinya itu?

Dumbledore melirik ke arah Severus, sebelum berdeham dan tersenyum lembut pada Remianda.

"Itu semua adalah segala keperluan untuk tahun keduamu. Mengingat kau yang entah kapan akan bangun, Profesor Snape memutuskan untuk membelikannya untukmu."

"A-ah, o-oh.." adalah respon tak jelas dari Remianda.

"Kenapa? Apa kau tidak menyukainya?" Tanya Severus, tidak menyadari nada kasar di pertanyaannya.

"Tidak, bukan itu!" Elak Remianda dengan cepat, "hanya saja.. ini semua pasti tidaklah murah. Anda harusnya tidak membuang-buang uang hanya untuk ini." Ucapnya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.

Severus mendengus namun tak berbicara apa-apa ketika melihat Mcgonagall mengirimkan tatapan tajam padanya sebelum beranjak pergi ke sisi Remianda, ia mengusap punggung anak itu dengan lembut.

"Tak perlu untuk merasa tidak enak seperti itu Remianda. Meskipun tidak terlihat seperti itu, tapi Profesor Snape adalah ayah baptismu, ia bertanggung jawab atasmu. Ini adalah hal kecil dari tanggung jawabnya." Jelas Mcgonagall, yang membuat Remianda memerah seketika ketika Mcgonagall menyebutkan ayah baptis dengan penuh tekanan.

"Itu benar, Remianda." Sahut Dumbledore, "dan tenang saja, Profesor Snape tidak akan langsung jatuh miskin hanya karena membeli perlengkapanmu. Pria ini mengatur keuangannya dengan sangat baik."

Remianda terkekeh pelan, ia melihat kembali tumpukan bukunya. "Tapi tetap saja, kurasa buku-buku ini mahal harganya."

"Pengetahuan memanglah mahal, Remianda," kata Hagrid, "jangan merasa buruk dalam mencari pengetahuan." Imbuhnya dengan kedipan mata.

Remianda mengangguk pelan, kini kedua matanya menatap setumpuk surat dengan penasaran. "Apa itu juga punyaku?" Tanyanya dengan menunjuk setumpuk surat itu.

Dumbledore mengangguk, "para burung hantu milik teman-temanmu selalu menghiasi langit Hogwarts bahkan saat liburan. Profesor Mcgonagall bekerja extra untuk mengumpulkan dan merapikannya untukmu."

Remianda tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk mengambil setumpuk surat itu dan membuka ikatan surat-surat itu.

Kedua mata Remianda mulai membaca nama-nama pengirim surat-surat itu. Ia mulai bergumam dengan tidak sadar, "Surat Hogwarts, tiga surat dari Ronald, enam dari Hermione, Oh! Neville! Dia mengirimiku juga! Oh, ada Daphne juga! Nadien! Oh~ dia mengirimiku 1,2,3,4,5,6,7! 7! Waw, apa dia tidak memiliki pekerjaan sama sekali selama liburan? Oh, ada juga dari Theo dan Blaise! Wuhu, aku tak tau mereka dekat denganku sampai menulis surat seperti ini. Oh! Ada satu lagi, ah? Dari Malfoy? Malfoy.. Draco Malfoy?! Anak itu?! Untuk apa dia mengirimiku surat? Apa dia memiliki niat tersembunyi?"

Remianda menyipitkan matanya, menginspeksi surat yang dikirimi Draco kepadanya dengan begitu curiga. Pikirannya yang menyuarakan ada hal penting yang ia lupakan, ia kesampingkan dahulu untuk sesaat.

"Hmm, mungkin aku akan mengetahuinya nanti setelah membacanya." Ucap Remianda yang mulai mengatur kembali surat-surat miliknya, "lagipula aku masih memiliki banyak waktu luang. Tapi, bagaimana aku bisa membalas mereka? Aku tak memiliki burung hantu lain. Hedwig sedang bersama dengan Harry, dan aku- tunggu, Harry? Harry! Astaga, kembaranku! Bagaimana bisa aku lupa begitu saja padanya?!"

Remianda menepuk jidatnya berulang kali, pantas saja ia merasa tengah melupakan sesuatu hal yang sangat penting! Harry Potter! Kembarannya yang mungkin tengah khawatir setengah mati dengan kondisinya.

"Harry baik-baik saja, Remianda." Ucap Dumbledore, memutuskan untuk menginformasikan gadis itu sebelum ia dapat melakukan hal-hal diluar nalar. "Pagi ini, bersamaan dengan Ronald Weasley, Harry Potter mendapatkan suratnya di Burrow, tempat keluarga Weasley tinggal."

Remianda berpikir sejenak, sebelum menatap Dumbledore dengan hati-hati.
 
"Kalau begitu.. apa aku.. boleh bertemu dengannya?"

Dumbledore tersenyum lembut, "tentu saja, Remianda. Profesor Mcgonagall bisa menghubungi keluarga Weasley, kurasa mereka akan dengan senang hati menambah satu orang lagi di rumah mereka yang hangat."

"Dan aku bisa mengantarmu kesana, Remianda." Kata Hagrid dengan senyuman lebar sembari menegakkan badannya dengan gagah.

Remianda tersenyum dengan lebar, namun dalam beberapa saat, senyumnya memudar perlahan-lahan sampai keempat orang dewasa itu mengernyit melihatnya.

"Tapi aku tidak yakin Madam Pomfrey akan mengijinkanku pergi." Ucapnya dengan ekspresi yang terlihat menyedihkan, layaknya seekor anak anjing yang terbuang.
 
"Tak perlu khawatir, Remianda," sahut Dumbledore, "aku adalah orang yang pandai bernegoisasi." Ucapnya dengan kedipan mata yang jahil.

Remianda Liliev Potter 2Where stories live. Discover now