Eight : Blood?

102 10 0
                                    

Artsya terus saja terdiam. Menyaksikan kedua sahabatnya—Quentin dan Nichel—yang tengah bermain baseball bersama teman klubnya. Merasa tidak mood bermain bersama mereka. Menyaksikan awan-awan yang berarak di langit. Teringat akan percakapan dirinya dan Ryanya semalam.

Kenapa ketika ia menelponnya, Ryanya harus berbisik-bisik? Apakah ia sedang dalam masalah? Gawat! Tidak mungkinkan dia sedang di sandera kan? Seketika, Artsya menegakkan badannya dan segera meraih topinya. Memakainya dan bergegas pergi dari lapangan baseball dengan tas yang tersampir di bahu.

"Woi, Sya! Lo mau ke mana?" teriak Quentin dari lapangan baseball.

"Gue ada urusan, bye!" balas Artsya berteriak. Berlari menyusuri stadion baseball menuju gedung sekolah. Masuk ke dalam lift. Merogoh masker hitam dan memakainya. Menutupi identitasnya seperti biasa.

Setibanya ia di kelas kedokteran, Artsya tak menemukan Ryanya di manapun. Ia semakin kalut. Tak menemukan siapa pun di sana. Atau jangan-jangan hari ini jurusan kedokteran sedang tidak ada kelas? Artsya pun mengecek jadwal perkuliahan kedokteran. Menemukan jika mereka hanya memiliki beberapa jadwal hari ini. Dan sekarang jadwal mereka adalah ....

"Ilmu bedah?" pekik Artsya tanpa sadar.

"Dari sekian banyak pelajaran, kenapa harus ilmu bedah, sih? Pelajaran yang paling gue gak suka banget. Aplagi kalo udah berhubungan sama darah dan peralatannya. Sedangkan gue aja takut sama suntikan. Apalagi pisau. Gila apa anak kedokteran? Mau belajar bunuh orang?" cerca Artsya dengan pandangan tak luput dari layar ponsel. Ia pun buru-buru menekan tombol lift. Kembali masuk ke dalam dan turun ke bawah. Menuju gedung B tempat kelas ilmu bedah berada.

Dalam hati, Artsya mengucapkan istigfar sembari terus memukul-mukul dadanya tabah. Berusaha sabar tatkala sampai di sana nanti.

Ting

Pintu lift terbuka tepat di lantai 9. Tempat kelas pelajaran ilmu bedah berada. Bisa ia lihat, siswa-siswi tampak keluar-masuk memakai seragam hijau. Khas seorang dokter bedah pada umumnya. Artsya kembali menarik napasnya dalam-dalam. Menatap seragam-seragam itu ngeri sembari mendekatinya.

"Permisi, apakah bener lo anak jurusan kedokteran?" tanya Artsya kepada salah seorang perempuan yang tengah memainkan ponsel tak jauh dari ruangan operasi. Entah apa yang mereka operasi. Artsya tak ingin tahu.

Sang perempuan menolehkan wajahnya. Mengerutkan kening, menatap Artsya aneh.

"Iya, gue anak jurusan kedokteran. Ada apa?" tanya perempuan tersebut.

"Lo tahu Ryanya?"

"Ryanya Alfregash Xinlya?" tanya sang perempuan memastikan. Artsya mengangguk.

"Oh, dia masih di ruang operasi. Baru saja masuk. Kalo lo mau nunggu, lo bisa tunggu dia satu jam lagi." Artsya mengerutkan kening. Lantas ia mengangguk dan mencari bangku. Duduk di sana sembari mengeluarkan laptop. Mengerjakkan beberapa tugasnya sebelum kelulusannya tahun ini. Yah, cukup banyak dan berat. Tapi, cukup untuk mendapatkan gelar cumlaude.

Artsya pun membuka beberapa file tugasnya. Mengerjakkannya sebaik mungkin walaupun kini ia tengah menjadi sorot perhatian kaum hawa dengan tingkah anehnya ini. Merasa asing sekaligus menatapnya aneh.

Satu jam kemudian ....

Ryanya keluar dari ruang operasi bersama teman kelompoknya. Menatap seragamnya yang penuh darah dengan tangan memegang laporan hasil operasi.

"Ryanya, ada temen lo tuh yang nyariin." Ryanya menyatukan alis, bingung. Teman? Siapa? Tidak mungkinkan dia Gybran? Bukannya kuliah bisnisnya sudah selesai?

SWI AGENCY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang