5. Bitter Memories

2.4K 358 42
                                    

Menjadi seorang dokter bukanlah tujuan awal Juna

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Menjadi seorang dokter bukanlah tujuan awal Juna. Dia menjebloskan diri menjadi dokter atas keinginan mantan kekasihnya, Amelia Hauri, karena dia pun seorang dokter anak dan bertugas di rumah sakit yang sama bersama Juna. Karena dibutakan cinta pada Amel, Juna rela bersimpangan dengan sang ayah untuk menjadi penerus perusahaan. Juna dan Amel pernah saling janji untuk tetap saling setia menjadi dokter apapun yang terjadi. Bahkan mereka pernah berencana untuk membangun rumah sakit khusus anak. Tapi semua rencana yang disusun rapi kandas saat Amel harus meninggalkannya, memilih laki-laki lain untuk menjadi pendamping hidupnya. Alasannya sederhana. Sudah tidak cocok lagi.

Bayangan Amel tertawa bersama anak-anak melintas dalam pikiran Juna. Bayangan saat mereka masih bekerja satu tim. Banyak kenangan yang tercipta kala itu. Kenangan yang mungkin tak akan pernah Juna lupakan. Terlalu manis dan berharga melupakan wanita yang dicinta. Ia akan tetap setia pada satu cinta. Amelia.

Juna mengerjapkan mata sambil menggeleng untuk mengusir kenangan beberapa bulan yang lalu. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja. Sudah waktunya untuk dia pulang.

Deringan ponsel membuat aktivitasnya terhenti. Ia bergegas menggantung jas kerjanya, lalu meraih telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja. Sang mama menghubunginya.

"Iya, Ma," sapanya setelah menggeser layar dan menempelkan pada telinga.

"Kamu belum pulang, 'kan? Mama mau minta tolong belikan kue di toko kue langganan Mama." Frida menyampaikan.

"Mama catat saja, nanti kirim ke Juna. Juna mau jalan sekarang." Juna beranjak dari ruangannya.

"Iya. Mama catat. Kamu hati-hati di jalan." Frida mengingatkan.

Juna mematikan sambungan telepon setelah mengakhiri obrolan dengan sang mama. Ia bergegas meninggalkan ruangan kerjanya.

Senyum ramah terukir pada bibir Juna saat beberapa suster menyapanya di lorong bangsal. Juna pun melambaikan tangan saat dokter dari poli lain menyerukan namanya. Ia terkenal akan murah senyumnya, tapi perlahan senyum itu mulai berkurang semenjak putus dengan Amel. Senyumnya hanya formalitas saja, menutupi kerunyaman hatinya yang gundah. Di luar rumah sakit, dia layaknya es. Dingin. Terutama pada wanita. Tak heran jika Juna cuek pada Naina.

Juna memasuki mobil, lalu melajukannya menuju tempat yang diinginkan oleh sang mama.

***

"Nai, aku duluan, ya." Devi melambaikan tangan pada Naina.

Naina melempar pandangan ke arah Devi, mengabaikan pekerjaannya sesaat. "Yes. Se you tomorrow," balasnya sambil melambaikan tangan.

Setelah kepergian Devi, Naina kembali fokus pada tugasnya yang belum selesai. Di detik-detik terakhir masa jabatannya, ia disibukkan dengan tumpukan tugas. Perhatian Naina teralih ketika ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Diraihnya benda pipih itu yang tergeletak di atas meja. Dahi Naina berkerut ketika melihat nama yang tertera. Ia bergegas menggeser ke warna hijau.

NervousWhere stories live. Discover now