6. Emergency

2.3K 381 40
                                    

Hari yang dinanti tiba. Hari perpisahan antara Naina dan kantor tempat kerjanya saat ini. Besok, mungkin ia tak akan lagi menginjakkan kaki di kantor itu. Tak ada lagi godaan dari rekan lain karena Ian selalu menggodanya. Tak ada lagi canda dengan Devi. Naina menatap ruangan kerjanya, lalu menghela napas. Ia memang ingin segera keluar dari kantor itu, tapi sekarang justru berat untuk meninggalkan. 4 tahun bukan waktu yang singkat untuk bertahan di kantor itu. Banyak perjuangan yang sudah ia lalui sampai saat ini.

"Aku akan merasa kehilangan dan merindukanmu."

Perhatian Naina teralih ketika mendengar suara itu. Ian berdiri di samping meja kerja Naina. Tak ada tanda-tanda kehadirannya. Naina sibuk dengan pikirannya sehingga tak menyadari akan kehadiran Ian.

"Masih ada staf lain yang bisa Pak Ian andalkan," balas Naina sambil memasukkan barangnya ke dalam kardus.

"Kamu beda. Kamu istimewa. Kamu-"

"Nai ..." Devi menggantungkan kalimatnya ketika mendapati Ian di dekat Naina.

"Ada Devi sebagai penggantiku, Pak. Dia lebih bisa diandalkan dari aku." Naina menimpali.

"Ini hari terakhir kamu di sini. Aku ingin mengajakmu makan siang. Please, jangan menolak untuk kali ini. Aku tunggu di restoran Blue Green saat makan siang." Ian berlalu dari hadapan Naina setelah mengatakan hal itu.

Naina dan Devi menatap kepergian Ian. Devi menggoda Naina karena Ian terlihat kesal padanya. Kesal karena Naina selalu menolak untuk diajak makan bersama.

"Datang saja. Kasian. Lagian yang pertama dan terakhir. Terakhir sebagai atasan kamu." Devi menyarankan.

"Males, Dev. Mending makan sama kamu," sahut Naina.

"Aku nggak bisa, Nai. Kerjaan aku numpuk gara-gara kamu. Kita juga masih bisa ketemu dan makan siang bareng walaupun kamu sudah nggak kerja di sini lagi." Devi masih membujuk. Entah dia kesambet setan mana mau mendukung Ian untuk makan siang bersama Naina.

Naina mendaratkan tubuh di atas kursi. "Aku pikir-pikir lagi."

Devi tak membalas ucapan Naina, kembali sibuk pada pekerjaannya setelah duduk di kursi kerjanya. Naina meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja karena terlihat tanda pesan masuk. Naina tersenyum ketika melihat Farha yang mengirim pesan padanya.

From: Kak Farha
Kamu apakan akunmu di Madam Rose?!

Naina tertawa puas ketika Farha menyadari jika akunnya tak bisa diakses. Ia segera mengirim pesan balasan.

To: Kak Farha
Mana aku tau, Kak.
Kan Kakak yang punya hape.

Perhatian Naina teralih ketika Kinara menghubunginya. Ia bergegas menggeser ke warna hijau, lalu menempelkan pada telinga. Tidak biasanya Kinara menghubunginya di saat jam kerja.

"Iya, Kin," sapanya ketika sambungan telepon terhubung.

"Kak, Mama pingsan. Kayaknya darah tingginya kambuh. Ini Nara lagi nunggu taksi buat bawa ke rumah sakit." Nara terdengar panik.

"Kakak ke sana sekarang. Kirim alamatnya." Naina meraih tas, memasukkan barang penting ke dalamnya. "Kamu sudah hubungi Kak Farha?" tanyanya pada sang adik.

"Belum, Kak. Nomor Kak Farha sibuk terus dari tadi."

"Kamu fokus ke Mama. Nanti Kakak yang telepon Kak Farha. Kabari Kakak kalau ada apa-apa." Naina mematikan sambungan telepon bersama adiknya.

Pandangan Naina beralih pada Devi. "Dev, aku pergi dulu, ya. Mamaku masuk rumah sakit. Nanti tolong sampaikan ke Pak Ian apa adanya, dan sampaikan kalau aku nggak bisa makan siang bareng dia." Naina menyampaikan.

NervousWhere stories live. Discover now