Dua ; ternyata kamu

27.8K 3.8K 532
                                    


Aku masih semangat dong ngegarap dongeng ini hahahaa

Udah siap blm ketemu sama ceweknya Bang Raja? Wkwkwk

Yukyukyuk, kita kenalan sama ceweknya Bang Raja. Si sosok yg bakal jadi cikal bakal huru haranya perang sodara hihihihiii

Baiklah semuanya, happy reading yaaa

***

Bara tidak menyukai hari minggu mulai beberapa waktu belakangan. Andai boleh melewati hari, maka weekend selalu ingin ia hindari. Namun ada perasaan tanpa nama yang mulai menyusup tiap kali mereka tidak jumpa. Sebuah detak yang berbeda, saat sedetik saja wajahnya mulai terbayang dalam benak.

Sepertinya, kini Bara harus percaya jika bibit-bibit penyakit gila memang ada di tiap manusia. Hanya tinggal menunggu pemicunya. Maka siapapun, dapat kehilangan kewarasan.

Seperti saat ini, ia telah menuruni anak tangga dengan telapak tangan berkeringat. Degupnya mulai berisik, tetapi ia tutupi sambil terus berpura-pura tenang. Ketika akhirnya sampai di ujung anak tangga terakhir, Bara berhenti sejenak. Ia netralkan napas dan segera mengusir kegugupan yang entah sejak kapan mulai ramah menyambanginya. Ini tampak bukan dirinya sama sekali.

"Pagi," sapanya yang membuat sebagian penghuni meja makan melotot padanya. Menyadari kekeliruhan, ia terkekeh sebentar sebelum merevisi sapaan yang tadi sudah terlanjur terlontar. "Siang," gelaknya setelah melihat betapa terangnya kesombongan matahari di luar sana.

"Kapan sih kamu bangun pagi, Bar? Mama beneran kangen masakin kamu sarapan."

Menarik kursi di sebelah keponakan tersayangnya. Bara mengecupi puncak kepala gadis kecil favoritenya itu hingga beberapa kali. "Nadi kehidupannya Om Bara makan pakai apa?"

"Pakai hati, Om," celetuk adiknya sambil memutar bola mata. "Minumnya teh botol susro. Wah, mantep, Om. Nadi mabok. Aduuuhh, Nadi maboookk ..."

"Raja!" Rike memperingatkan anaknya sambil melotot garang. "Itu omongannya dijaga dong. Nadi ini lagi beo. Apa pun nanti ditiru."

Bara hanya tertawa. Ia membalik piring yang sebelumnya ditata telungkup di atas meja. Menerima sodoran nasi dari sang ibu, ia juga mengucap terima kasih pada kakak iparnya yang telah mendekatkan udang bakar kesukaannya kedekat piring. "Sehat, Ra?" pertanyaan itu ia lemparkan pada sosok perempuan yang selalu berada disebelah adiknya bila berkunjung ke sini. "Dari jam berapa datang, Ra?"

Mahira nama sosok itu. Tengah menatap kikuk sambil tersenyum tipis. Rambutnya yang panjang diikat satu agar tak menyusahkan geraknya. "Dari pagi, Bang. Tante Rike kemarin nelpon ngajak masak bareng."

Bara hanya manggut-manggut saja. Ia sendok nasi ke mulut, mengunyah udang berlumur saus kecap yang telah menjadi makanan kegemarannya sejak dulu. Namun kunyahannya terhenti sejenak, hingga diam-diam senyum tipisnya hadir tanpa mampu dicegah. "Mas Affan belum balik dari Lampung, Mbak?" kini perhatiannya berpusat pada sang kakak ipar. "Sore nanti gue mau ngajak Nadi ngedate es krim, boleh?"

Hidup sebagai si tengah, nyatanya Bara tidak pernah merasa sebagai anak yang tak pernah diperhatikan keluarga. Ia memiliki saudara-saudara luar biasa. Kakak laki-lakinya adalah yang paling ia hormati setelah papa. Sudah menikah, Mas Affan—merupakan panutannya sejak lama. Lalu, ada adik laki-lakinya yang tengilnya luar biasa. Bergelar sarjana, Rajata—belum ingin bekerja. Adiknya itu berkata, kalau ia bekerja sekarang, siapa yang memiliki tugas untuk menghabiskan harta mereka?

Jawaban dari seorang pemalas memang seperti itu.

Tetapi, Bara sangat menyayangi mereka semua.

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang