Enam ; perasaan tak tenang

24.4K 2.8K 534
                                    


Aku niatnya update part ini nanti2 aja. Tapi aku tuh paling males kalo udah selesai ngetik ditunda2 up nya. Berasa utang gitu. Nggak enak.

Jadi, baiklah happy reading semua.
Jgn loyo berkomentar yes, biar enak dibaca2 sama aku hihihii...

Btw, part ini kita balik ke masa skrg ya. Bukan flashback lagi.

"Gue kayaknya mau jadi pewaris firma arsiteknya Papa aja deh."

Bara langsung merotasikan bola mata mendengar ucapan adiknya. Menggigit apel, ia celupkan kaki pada tepi kolam renang. Menikmati waktu sore untuk bersantai. Kalau dipikir-pikir, bila sedang bergabung dengan Rajata begini, mereka bak duo pengangguran. Pasalnya, hanya mereka yang berada di rumah bersama para asisten rumah tangga.

Papa mereka jelas masih berada di kantor. Sementara sang mama, kalau tidak arisan bersama ibu-ibu yang lain, pasti sedang di rumah kakak pertamanya untuk bermain dengan Nadi.

"Gue mau ngebawa firmanya Papa sampai go international. Mana tahu Paris Hilton mau bikin rumah anjing lagi. Atau Stormi minta bikin rumah-rumahan baru sama enyak babenya. Bisalah gue lobi-lobi tuh nanti."

Membiarkan adiknya berkhayal adalah pilihan paling tepat daripada mendebatnya hingga mereka berakhir ribut. Biasanya sih, Bara paling senang bila disuruh merusuh. Namun detik ini, maaf-maaf saja, ia sedang ingin suasana yang sepi.

"Eh, Mas, Donal Bebek tuh beneran melihara bebek nggak sih?"

Sudah.

Sudah cukup kesabarannya mendengar omong kosong yang makin melantur ini.

Melempar apelnya yang masih tergigit setengah, Bara melotot memandang adiknya itu. "Bodoh amat, Ja! Bodoh amat!" serunya kesal. Karena dibiar-biarkan kok khayalan sang adik makin menjadi-jadi saja. "Berenang lu sono!" ia bangkit dari tepi kolam. "Nyelem lo, Ja! Ademin tuh otak lo yang parah!" sunggutnya sambil menendang kaki Rajata.

"Apa sih nendang-nendang? Awas aja kalau sampai ada yang biru-biru di badan gue. Gue minta visum ke dokter," ancam Rajata sambil meneliti kakinya.

Bara tak peduli. Ia beralih duduk di atas bean bag. Kakinya sengaja terjulur untuk menggoda sang adik. Menoel-noel bahu Raja, hingga kepalanya juga. Sebagai anak paling kecil, Rajata selalu menjadi objek langganan untuk diisengi. "Lagian gaya lo mau ngewarisin firma arsiteknya papa. Kayak ngerti aja lo."

"Ya, kan, gue cuma jadi tim legalnya aja, Mas. Gue bagian tanda tangan gitu. Masalah keberlangsungan firma, kita bisa cari tenaga professional."

"Halah, lo mau ngedepak lakinya mantan pujaan lo itu 'kan?"

Rajata tiba-tiba mendengkus tak suka. Wajahnya yang tadi terlihat tengil langsung saja sewot. "Si doi kan udah durhaka sama Papa. Udah ngediriin firma sendiri dia. Heran gue, kenapa coba Papa masih aja demen telepon-teleponan sama dia," gerutu Rajata jengkel. "Kalau gue jadi Papa, gue musuhinlah dia. Enak aja, ngebawa klien-klien papa ke firmanya dia."

Jadi di masa lalu, Rajata pernah terlibat perasaan pada istri orang. Ceritanya cukup rumit dan panjang. Namun kebetulan lainnya, suami dari wanita yang disukai Rajata setengah mati itu bekerja sebagai arsitek di firma milik orangtuanya.

Well, masa ketika ia masih berseragam putih abu-abu. Orang bilang, cintanya adalah cinta monyet. Tapi sampai sekarang Rajata belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana cara monyet bercinta.

"By the way, lo nggak serius 'kan sama si Mahira?" tanya Bara dengan hati-hati. Tiba-tiba saja ia ingin tahu bagaimana perasaan Rajata yang sesungguhnya. "Gue ngerasa lo masih belom bisa ngelepasin bayangan si Mbak Ami itu 'kan?"

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang