Delapan ; nadi

20.3K 2.7K 364
                                    

Yeaayyy, aku kembaliii

semoga bisa rutin yaa, biar cepet tamat hahhaha

karena aku mulai nggak sabar masuk ke konflik keluarga wkwkkwk

yuklah semuanya, happy reading

***

"Waw tumben!"

Seseorang menepuk punggung Bara, membuatnya menoleh namun orang tersebut justru telah berpindah ke sebelahnya.

"Jarang-jarang 'kan, owner mabok di sini!"

Bara hanya menimpali dengan kekehan. Ia angkat gelas berisi dry martini favoritenya. Ia ingin bersulang pada siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke arah dirinya. Ingin merayakan kebingungan juga keresahan yang tak kunjung menyingkir dari hidupnya.

"Ruangan lo di atas pengap atau kebanjiran? Tumben lo minum di sini?"

Nama laki-laki berisik itu adalah Megantara. Salah satu dari banyaknya sepupu yang ia miliki. Sama seperti dirinya yang tak terjun pada bisnis keluarga, Megan bebas memulai bisnis apa saja asal bukan tempat hiburan malam, prostitusi, situs perjudian, biro penipuan, politikus, seorang selebritis dan ada beberapa macam profesi lain yang tidak diperbolehkan. Ck, sama saja dengan suatu kebohongan 'kan?

Well, pada akhirnya memutuskan keluar dari bisnis keluarga mereka yang telah menggurita di mana-mana, bukan berarti memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun. Tetap ada aturannya. Tidak boleh sembarangan. Beruntung saja Bara sudah dicoret dari daftar ahli waris, jadi tak ia pedulikan lagi aturan-aturan sialan itu.

"Kadang gue merasa jadi orang paling jahat di dunia," saat mabuk sudah menjadi judulnya banyak orang yang mendadak jujur di waktu-waktu krusial itu. "Tapi kadang gue juga merasa kalau sebenarnya gue ini menderita."

Ia jahat karena telah berani jatuh hati pada kekasih adiknya.

Ia menderita karena tak bisa menunjukkan pada dunia siapa yang menyimpan hatinya.

"Gue pengin balik ke masa-masa sekolah. Di mana permasalahan hidup gue cuma karena nggak ngerjain PR Kimia," Bara tertawa. "Gue nggak pernah ngerti kenapa Oksigen bisa disingkat O2. Padahal jelas-jelas, O-nya itu cuma satu. Lo nggak heran, Gan?"

Megan tertawa kecil. Setelah pesanannya tiba, ia sesap sedikit wine dengan gaya elegant. Menggoyang-goyangkan isinya, lalu menghirup aromanya yang memikat. "Gue lebih penasaran kenapa perempuan punya segudang air mata yang nggak abis-abis dipake tiap hari."

"Mungkin air mata itu masuk ke dalam sumber daya yang bisa diperbaharui, Gan."

"Mungkin sih," Megan kembali tertawa. "Terus lo nggak kepo kenapa laki-laki banyak yang jadi berengsek?"

Bara hanya diam, sebelum kemudian mengutarakan apa yang tersimpan di dadanya. "Gue punya pacar, Gan," ia telah hilang akal karena terlalu putus asa. "Bukan pacar deh, cuma seseorang yang berarti dihidup gue," ia merevisi sambil tertawa. "Dan sialannya, gue nggak jatuh cinta sepihak. Dia juga ngerasain hal yang sama kayak gue."

"Ya udahlah, gaskeun ae," Megan mengomentarinya santai. "Hidup kita udah terlalu ribet dari kecil. Jadi maaf-maaf aja, buat urusan cinta-cintaan gue males mikir."

Bara membenarkan dalam hati. Sejak kecil, mereka sudah hidup dengan aturan ketat dari kakeknya. "Gue juga penginnya gitu. Tapi nggak bisa," menyugar rambutnya senyum Bara tertekuk muram.

"Masalahnya, pasti hubungan kalian rumit 'kan?"

Bara manggut-manggut. "Situasinya nggak mendukung gue buat nunjukin dia ke orang-orang."

TERIKATDonde viven las historias. Descúbrelo ahora