Tiga ; dunia yang Bara gemari

23.9K 3.4K 462
                                    


Yes yes yes, ai lope kalian very much pokoknya hahaha

Baiklah, karena kalian semangat, eike jg semangay dungs.

Yg kemaren udah ngerasa lega, karena dedek kesayangannya gk di jamah jamah manzaaa, yuk deh kita liat dulu kerjaannya Bang Bara yess.

Happy reading semuanya

***

"Sebelah sana," Kaligra berbisik pelan. Mengangkat ujung jubahnya, ia melangkah penuh kehati-hatian dengan sebelah tangan yang masih menggenggam tangan kekasihnya. "Sebelah selatan hutan ini, ada goa yang bisa kita kita jadikan tempat bersembunyi untuk sementara waktu," lanjutnya dengan napas terhela kasar. Matahari sudah terlampau terik rupanya. "Kamu masih bisa bertahan?"

Amerta mengangguk. Padahal, dirinya tak lagi sanggup untuk sekedar mengangkat ujung gaunnya yang telah menyapu tanah. Keringatnya terus mengalir deras, tak pernah mengira bahwa Asmaraloka bisa sepanas ini menyengat kulitnya.

Ke mana semua udara sejuk yang biasa mengelilingi bukit hijau ini?

Mengapa di saat ia membutuhkan, justru mataharilah yang memberinya sengatan terik?

"Sebentar lagi," Kaligra masih berbisik. Pedangnya terus menebas ranting-ranting yang menghalangi langkahnya menuju tempat persembunyian. "Bertahan sebentar lagi, Amerta."

Tetapi rasanya sulit. Amerta menghentikan lajunya karena sudah tak kuat. "Bisakah kita berhenti sejenak?" pintanya terengah. "Aku lebih menyukai mati ditusuk pedang oleh para pasukan daripada mati kehausan," keluhnya sambil menyingkap tudung jubah yang membuatnya gerah. Menampilkan rambut serta wajahnya yang sedari tadi terbungkus tudung gelap. "Apa dewa matahari sedang bersekutu dengan Ayahku? Tidakkah kamu merasa sinarnya benar-benar tidak bersahabat?"

Senyum Kaligra terbit segaris. Merasa lucu juga kasihan pada wanita itu. Tanpa banyak berkata, ia biarkan Amerta beristirahat. Menurunkan tas yang ia tumpuhkan pada pundak, Kaligra membuka bekal mereka yang memang telah ia persiapkan. "Menurutmu, berapa lama waktu yang dibutuhkan mereka untuk mengetahui jika kita berdua tidak ada di Asmaraloka?"

"Aku tidak ingin memperkirakannya," sahut Amerta lemas. Ia sandarkan tubuh di batang pohon besar. Kakinya berselonjor demi menghilangkan sedikit pegal. Mereka sudah berjalan sejak pagi masih ranum. Dan kini, langkah-langkah mereka sudah memasuki ujung batas wilayah Asmaraloka. "Bisakah kamu duduk saja? Aku takut kamu berlari meninggalkanku jika berdiri terus seperti itu."

Ikut membuka tudung jubah, Kaligra tertawa lagi. Rambutnya yang terikat juga sudah basah akibat keringat dan pengap. Namun, demi melakukan penyamaran saat melintasi rumah-rumah penduduk tadi, ia terpaksa tetap menggunakan penutup kepala. "Gaunmu kotor."

Amerta mengikuti arah pandang laki-laki itu. Sulaman emas pada ujung gaun panjangnya telah tertutup oleh noda tanah. Membuat sutra berwarna biru itu sama sekali tak terlihat indah. "Tidak masalah. Asal aku bersamamu," katanya sungguh-sungguh. "Lagipula, aku membawa pakaian ganti yang lebih sederhana dari gaun ini. Aku berjanji, akan benar-benar terlihat seperti rakyat biasa."

Kaligra mengulurkan tangan. Mengelus puncak kepala Amerta dengan senyum tipis di wajah. Menelusuri garis kepangan di rambut wanita itu, tangannya lalu terulur ke bawah. Ibu jarinya menyentuh pelipis Amerta, menyapu keringat yang bertitik di sana. "Maaf."

Menangkap tangan kekasihnya, kening Amerta mengerut. "Untuk apa maaf itu?"

"Untuk cintaku, yang ternyata merepotkanmu."

Sebab Amerta adalah tuan putri dari kerajaan Asmaraloka. Dan Kaligra hanyalah pengawal raja yang mendapat keistimewaan bertemu dengan sang putri lebih sering dari rakyat biasa.

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang