25

1.1K 110 21
                                    

Pernahkah kalian terbangun di pagi hari lalu merasa kosong? Seperti tidak ada yang ingin kalian lakukan untuk hari itu. Lalu pernahkah kalian menyesali suatu hal saat apa yang kalian lakukan sebelumnya adalah kesalahan yang dilakukan secara sadar? Lalu setelah itu kamu merasa bersalah. Hal paling buruk dalam hidup adalah ketika kamu merasa lemah karena terpuruk dalam rasa bersalah yang berkepanjangan. Seolah kamu terjebak di dalam gua yang tak berpintu. Dingin dan gelap. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada sinar hangat matahari. Tidak ada lagi kebebasan. Kamu terperangkap di dalamnya.

Kabar buruknya, Yoo Jeongyeon merasakan itu semua.

Setelah hari pembagian rapot kelas dua semester satu, Jihyo menghilang, tanpa bicara apa-apa pada Jeongyeon dan hal itu membuat Jeongyeon gusar. Ia seperti orang bodoh yang selalu menunggu Jihyo dan bertanya-tanya di mana Jihyo sementara teman-temannya yang lain sudah tau perihal kepindahan Jihyo. Memang Jeongyeon yang salah karena tidak bertanya sejak awal. Lalu ketika bertanya tentu semua sudah terlambat.

Semua sosial media Jihyo tidak bisa dihubungi. Akhirnya Jeongyeon datang ke rumah Jihyo dan berharap akan mendapat pesan yang Jihyo titipkan pada orang tuanya. Nyatanya tidak. Nyatanya Papa dan Mama Park hanya bilang bersabarlah, Jihyo sedang mengejar impiannya. Jihyo benar-benar tidak menitipkan pesan apapun untuk Jeongyeon.

Semua terasa berbeda. Kata-kata konyol 'Semangat ya upacaranya!' yang biasanya tiap Senin pagi ia dengar sudah tidak terdengar lagi. Koridor tempat ia biasa memantau Jihyo yang sedang bertegur sapa dengan Tzuyu sudah kosong, tidak ada orang. Helm yang biasa ia lempar dengan kasar ke Jihyo sudah menganggur. Kaca spion tempat ia biasa melirik Jihyo yang menggerutu karena omelannya tidak menunjukan bayangan siapapun selain dirinya. Dan itulah yang membuat Jeongyeon merasa kosong.

Nyatanya di lihat dari sisi manapun Jeongyeon memang naif dan inilah resikonya. Kini hanya aroma minyak telon dan foto mereka berdua di Bromo yang tersisa. Kini hanya ada Jeongyeon dan segala kenangan.

****

Tujuh Tahun berlalu dengan cepat. Sekarang Jeongyeon memegang perusahaan Papanya yang bergerak di bidang kertas. Ia belajar sekaligus bekerja selama ini. Gelar sarjana dan master sudah ia dapatkan. Ia selalu mengerahkan waktunya seharian penuh untuk belajar dan bekerja. Begitu setiap hari. Siklusnya berulang sampai ia dikenal sebagai bos yang tidak punya hati dan tidak berperi kemanusiaan. Jeongyeon semakin tempramental. Ketika ada yang melakukan kesalahan bahkan seujung jari kelingkingpun langsung ia hempas. Sadis.

Namun bagaimana pun juga ia harus berdamai dengan keadaan. Hidup harus terus berlanjut. Ia mulai tertarik dengan seorang gadis yang bertemu dengannya di kafe tempat ia biasa merenung.

Sampai detik ini Jeongyeon juga tak mendengar kabar Jihyo. Ketika ia mengunjungi rumah keluarga Park yang didapatkan hanya kalimat penenang 'Jihyo baik-baik saja dan bahagia di sana'. Sungguh kalimat penenang yang amat tidak menenangkan.

Bahagia seperti apa? Di sana mana?

Jeongyeon hampir gila memikirkannya.

Siang ini undangan reuni SMA masuk ke emailnya. Grup whatsapp juga mulai ramai. Di undangan tertera acara ini untuk angkatan 10-15. Itu artinya terakhir adalah angkatan bawahnya.

Ah Son Chaeyoung adalah salah satu panitia dalam acara ini, Jeongyeon sampai lupa.

Chaeyoung dan teman akrabnya, Tzuyu, heboh menelpon Jeongyeon untuk datang, bahkan sudah dari seminggu yang lalu. Padahal ya tidak ada yang menarik bagi Jeongyeon. Nyatanya gadis yang ia cari bukan lulusan SMA ini.

Menghela napas, Jeongyeon memilih menitipkan kantor dengan sekretarisnya lalu pulang. Ia harus bersiap untuk acara reuni nanti malam. Setidaknya walaupun yang ia cari tidak ada mungkin ia bisa bernostalgia sedikit.

Deux (Jeonghyo - Jitzu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang