File 03

10 4 9
                                    

Rabu, 5 Agustus 2020

Sabrina menatap es kopinya dengan tatapan kosong. Dia tersinggung oleh ucapan Tasya tadi pagi. Mungkin orang-orang di sekitarnya menganggapnya tidak memiliki etos kerja dan tidak bisa membaca situasi. Menurutnya, buat apa kerja terlalu keras apabila tidak seimbang dengan kehidupan pribadi. Kerja keras ada batasnya. Dia akan semangat saat bekerja dan berusaha seefisien mungkin dalam bekerja. Lalu, pada saatnya pulang, dia akan pulang, menjalankan kehidupan pribadinya sepulang kerja. Kata orang akuntansi, semuanya harus balance.

Dia trauma jika harus mengulangi masa-masa workaholic-nya. Di perusahaan sebelumnya, dia dipaksa untuk terus lembur, lembur, dan lembur. Saat itu, perusahaan tempatnya bekerja sedang mengejar target hingga akhirnya dia mengalami kecelakaan. Dua tahun lalu, tanpa sadar dia terjatuh saat sedang berjalan di tangga. Orang tuanya mengatakan jika dia sempat koma selama tiga minggu. Air matanya tiba-tiba mengalir di wajah tirusnya.

"Are you okay?" tanya seorang perempuan dengan logat Inggrisnya.

Sabrina mengangkat wajahnya yang berwarna kecoklatan dan berusaha tersenyum. "Aku nggak papa."

"That's good," balas Imelda sambil memberekan meja di sebelah meja Sabrina.

"Eh, Sabrina!" panggil Mathias. "Kamu belum pulang?"

Pria berambut ikal itu masuk ke kafe milik Imelda dan melihat Sabrina duduk di kursi dekat dinding.

"Masih pengin nongkrong di sini Kak Mat," jawab Sabrina.

"Miss Imel, saya pesan Vanilla Milkshake sama Carbonara," ucapnya pada Imelda, perempuan keturunan Indo-Inggris itu.

"Yes, Sir." Imelda segera meninggalkan meja mereka setelah menjawab itu.

"Gue sebel sama ucapan Tasya tadi," ucap Mathias sambil mendaratkan pantatnya di kursi yang terletak di seberang Sabrina, "nggak ngerti gue sama orang-orang kantor. Kesannya gue nggak guna banget. Kerjaan gue nggak pernah dianggep. Semuanya ngandalin Ari, Ari, dan Ari."

"Kalau gue nggak peduli, Mat. Kalau bagi gue, yang penting setaiap hari bisa pulang cepet, setiap bulan bisa dapet gaji aja udah seneng. Gue nggak mau pusing sama urusan kantor."

"Ah, udah ketebak lo bakal ngomong gitu, Bina. Dan lama-lama gue males sama orang-orang kantor. Gue bakal kerja ala kadarnya, karena kerja sungguh-sungguh juga, kalau Pak Chandra udah bilang kurang perfect, bakal di-cover lagi sama Ari."

Mathias sama sekali tidak tahu jika kini dia sedang memeras seseorang. Dia peduli dengan urusan orang lain jika urusan itu menguntungkannya.

"Gue nggak tau harus ngomong apa, Mat. Padahal menurut gue, lo cukup berbakat, Mat. Katanya lo dulu pernah menangin lomba web design pas masih kuliah?"

"Itu dulu, Bina. Sekarang gue ngerasa nggak ada apa-apanya dibanding Tasya dan Ari."

"Carbonara and Vanilla Milkshake." Imelda berdiri di sisi meja Sabrina dan Mathias. Kedua pegawai kantoran itu terpaksa menghentikan percakapan mereka saat Imelda datang ke meja mereka walaupun sejujurnya Imelda sudah mendengar garis besar percakapan mereka.

Imelda manaruh pesanan Mathias di meja. Sementara itu, Sabrina membuka tasnya. "Oh iya, Mat, gue cabut dulu, ya." Sabrina tiba-tiba merasa sedikit terburu-buru setelah membuka isi tasnya.

"Iya, Bina." Begitu mengucapkan itu, pria bertampang seperti burung itu melahap makanannya dengan cepat dan tanpa selera.

###

Antrean di restoran cepat saji itu mengular. Hal itu wajar karena di sana sedang ada promo setengah harga. Sabrina menanti dengan sabar hingga tiba gilirannya. Dibawanya nampan berisi seporsi ayam goreng dengan kentang beserta segelas cola. Dari meja kasir, dia menoleh kanan-kiri mencari meja kosong, tetapi sama sekali tak ada meja kosong.

(UN) RESET (END)Where stories live. Discover now