Chapter III

121 38 56
                                    

Setelah berdebat semalaman dengan tuan Filikos, beliau akhirnya mengizinkanku pergi. Dengan syarat bahwa ketika aku berhasil menemukan sihir yang mungkin dapat Akala gunakan, aku harus berbicara dengannya terlebih dahulu sebelum memberitahu Akala. Meski setengah tidak setuju dengan keputusan ini, aku mengiyakan saja. Itu jauh lebih baik ketimbang kembali berdebat dengan pria tua itu.

Nyonya Amical sebagai orang yang kuekspetasikan menentang ide ini justru adalah orang yang membantuku mempersiapkan perlengkapan dan memberitahuku apa saja yang menurutnya perlu kuketahui. Meski sesekali wanita itu menanyakan keyakinanku soal rencana ini.

Sudah 3 hari berlalu semenjak perdebatan itu. Melihat nyonya Amical dan aku sibuk berkemas belakangan membuat rumor soal kepergianku mulai menyebar dari mulut-mulut pelayan yang bekerja di manor. Rencana awalku untuk tidak memberitahu Akala pun gagal total karena Effie—pelayan pribadi Akala—membocorkan desas-desus itu.

Lantas di sinilah gadis itu, di ambang pintu kamarku, bersedekap sambil melayangkan tatapan tajam padaku. Mau tidak mau, tatapan itu mengganggu aktifitasku yang tengah berkemas lantaran membuat bulu kuduk merinding.

“Cheren Maghnus Abathmob,” panggilnya dengan suara yang dalam. Aku bahkan tidak tahu gadis kecil itu bisa membuat suara berat dengan nada mematikan seperti itu. Seluruhku tubuhku bergetar ketika mendengar panggilannya. Namun aku tetap memilih untuk diam, sebisa mungkin mengabaikannya walau harus dihajar.

Tak mendapar respon dariku, Akala menggertakkan gigi-giginya. Dapat kudengar langkah kakinya yang perlahan mendekatiku. Kutelan saliva seraya mengembuskan napas dengan pasrah. Pukulan pertama datang ….

Alih-alih langsung memukulku, Akala menarik bagian belakang kaus hitam yang kukenakan hingga aku kehilangan keseimbangan dan terpelanting menghantam lantai. Tanpa memberiku waktu untuk meringis, gadis kecil itu mendudukiku. “Darah Campuran sialan! Berani-beraninya kau mengabaikanku!” makinya seraya memukul dadaku.

“Kau jahat!” jerit Akala sambil menarik pakaianku dan memaksaku untuk duduk.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk bersikap dewasa dan tidak termakan emosi. Mataku menyipit, melayangkan tatapan yang tak kalah tajam padanya. “Apa-apaan kau ini? Masuk tanpa permisi lalu memukuliku tanpa sebab. Siapa yang sebenarnya jahat di antara kita?!”

Cengkeraman tangannya pada pakaianku melemah dan bibirnya tertutup rapat. Jeda beberapa detik itu memberiku ruang bernapas. Namun di detik berikutnya, sebuah tamparan melayang mengenai pipiku. Keras sekali, hingga membuat wajahku berpaling darinya. Dari tadi aku mencoba bersikap sabar karena dia adalah Akala. Akan tetapi tamparan barusan adalah sebuah penghinaan besar!

Baru saja bibirku hendak melontarkan makian, pun tertutup tatkala melihat ekspresi Akala saat ini. Kepalanya menunduk dengan bahu bergetar, kudengar ia terisak. Penampakannya yang terlihat rapuh bukanlah sesuatu yang sering—bahkan, boleh—untuk dilihat.

“Kupikir kau berbeda … kupikir aku dapat mempercayaimu.” Cengkeramannya kembali menguat, nyaris mencekikku. Akala mengangkat kembali pandangannya hingga maniknya langsung bertemu denganku. “Tapi apa yang kau lakukan?! Kau berniat pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun padaku!”

Itu bukan Akala.

Ah, tepatnya, itu bukan seperti Akala.

Mataku melirik lantai tanpa berani menatapnya. Aku mengulum senyum, agak senang dengan Akala yang rupanya bisa merajuk seperti anak kecil. Mesti tak dapat dipungkiri aku masih merasa sebal karena tamparannya. Berat rasanya menahan diri untuk tidak mengelus kepalanya. Bagaimana pun juga, Akala tidak boleh tahu rencana ini. Selain karena dia pasti tidak setuju dan merengek untuk ikut, ini merupakan salah satu kesepakatanku dengan tuan Filikos.

Anazítisi [END]Where stories live. Discover now