Chapter XXIII

48 17 0
                                    

Keseharianku dalam kurun waktu 3 bulan ini hanyalah; bangun, makan, berangkat ke guild, bertemu Carlise, pergi ke dungeon, pulang, makan, bebersih, tidur. Oh, demi nama Melviano Anfhony! Kenapa aku belum bisa menemukan batu sialan itu?!

Maksudku, hei! Aku berhasil menaikan levelku yang semula 1 menjadi 5 dalam waktu 3 bulan dan berhasil menjelajah sekiranya 35 dungeon! Itu angka yang cukup fantastis!

"Bom! Hai, Kakek! Jangan melamun, aku sedang berbicara denganmu!"

Aku hanya meliriknya sekilas. Aku mendesah dan mengambil peta pemberian Nyonya Amical padaku. "Menurutmu di mana lokasi batu itu ada?" tanyaku tanpa menatap Carlise.

"Mana kutau, aku bukan peramal," balasnya cuek.

Aku mendengus. Kuletakkan peta itu di atas meja dan membiarkan Carlise mengamatinya. Salah satu tanganku meraih gelas berisi kopi segar dan menghabiskannya dalam sekali tegukan.

"Kita sudah mengelilingi Ido, Lobha, Poli, Ilu, Shtot, Qala, Tik, Rong dan terakhir Umujyi. Kita hanya perlu menjelajah beberapa kota lagi untuk menemukan batu itu dan benda yanga kucari," ucapnya seraya melingkari nama-nama kota di Benua Voreios dengan mana yang tersalurkan dari tongkatnya.

Aku mendesis. "Maksudmu menjelajah 18 kota lagi, bukan?"

Dia menatapku tajam dengan gaya sok imut. "Jangan menamparku dengan kenyataan!"

"Kenapa harus kenyataan yang menamparmu kalau tanganku bisa langsung melakukannya?"

Dengan tongkatnya, Carlise memukuliku dari seberang meja. "Jaga bicaramu sekali saja, bisa tidak sih?!" Baik, sifat lain Carlise terungkap. Dia menyebalkan; hampir mirip Akala, tetapi jauh lebih menyenangkan.

Merasa lelah, Carlise pun mendengus dan duduk. Peta yang sedang terpampang di meja pun dia rebut sehingga hanya dia yang dapat melihatnya. Yah, biarlah. Perempuan sangat mengerikan ketika marah.

"Kemarin aku menemukan orang sekarat di lantai 5," ucapnya tanpa menoleh. Aku hanya membalas dengan 'oh' kecil. Kemudian dia melanjutkan, "Saat aku mendekatinya dia mati. Berarti bukan salahku 'kan?"

Aku meliriknya dan mengernyit. "Tentu saja bukan. Kenapa kau pikir itu salahmu."

"Yah, teman orang itu datang dan menyalahkan segalanya padaku."

"Abaikan saja," balasku cuek.

Dia meliriku tajam. "Kau tidak mengerti Cheren. Aku melihatnya mati. Garis bawahi, Mati!"

"Yang penting bukan kau yang membunuhnya. Kau juga tidak mengenalnya. Berarti menyelamatkannya bukan kewajibanmu."

Dia berdecak saat mendengar jawabanku. "Ck, sudahlah. Ayo, kita menuju tempat selanjutnya!" ucapnya dengan nada ceria. Dia pun bangkit dan menggendong tasnya.

"Kenapa jadi kau yang memimpin?" Mau tidak mau, aku punikut menggendong tasku dan pergi mengikutinya.

*****

Berbulan-bulan berlalu. Tak terhitung lagi dungeon yang telah kami selesaikan. Orang-orang di Benua ini menjuluki kami sebagai seorang pahlawan karena berhasil menyelesaikan beberapa dungeon dan misi berbahaya dalam waktu singkat.

Namun, tetap saja, kami belum menemukan apa yang kami cari.

"Tinggal kota By, Cheren. Apa menurutmu kedua benda yang kita cari selama 2 tahun ada di sana?" Carlise yang tengah merebahkan dirinya di ranjang bertanya dengan nada lelah.

Aku yang sedang duduk di ambang pintu pun menoleh ke arahnya. "Aneh sekali melihatmu pesimis."

Bantal kemudian langsung mengenai wajahku saat aku selesai bicara. "Bukan begitu bodoh! Aku cuma bertanya!"

Dia kemudian melompat turun dari kasur dan menendangku keluar. "Ayo, cepat kita ke dungeon selanjutnya!"

*****

"Slime?" tanya Carlise yang berdiri dan bersiap menyerang dengan kedua belati di tangannya. Aku mengangguk sebagai balasan. "Kupikir mereka level rendah!" pekiknya kemudian, dapat kulihat iris matanya memancarkan rasa panik yang nyaris baru kali ini kulihat.

Aku terkekeh. "Seharusnya kau tidak pernah merehkan musuhmu!" Aku segera berlari ke arahnya--moster berbentuk jelly yang sekilas terlihat lezat untuk disantap. "Carlise, bekukkan moster ini!"

"Lho, elemenku api bodoh! Mana mungkin aku bisa membekukan moster besar seperti itu!" Carlise yang ikut berlari lagi-lagi memekik.

Kunaikkan salah satu sudut bibirku. "Kalau begitu bakar saja seluruh ruangan ini."

Dia diam sejenak. "APA?!"

Aku terkekeh dan melompat naik dibantu dengan aura angin yang kufokuskan ke kakiku. Dengan kedua tangan yang bersiap menebasnya, aku kembali berteriak, "Kubilang, bakar seluruh dungeon ini!"

Meski panik, Carlise melakukan apa yang kuperintahkan. Dan, yah ... seharusnya kalian tau akhirnya, bukan?

Carlise memekik girang tatakala menyadari bahwa moster itu meleleh dan berhasil kutebas. Kami mengalahkannya. Mudah saja, ruangan ini bernuansa es dan Jelly itu juga terlihat dingin. Pilihan untuk mengalahkannya hanya 2; membekukkannya atau melelehkannya.

Kami segera berlari ke sarangnya dan menemukan sebuah peti besar di sana.

Tidak ada wajah girang yang mengiasi kami. Hanya ada wajah pucat dan gemetar, takut dengan apa yang kami dapatkan. Aku dan Carlise yang duduk berdeku di tanah es yang setengah mencair ini saling tertatapan. Kami kemudian mengangguk, memberi kode untuk segera membuka peti itu.

"CHEREN! KITA MENEMUKANNYA!"

*****

Lagi-lagi di bawah senja, kami berjalan sambil menenteng barang kami masing-masing. Carlise dengan berlian yang entah mengapa terasa unik dan aku dengan batu itu, batu merah menyerupai batu di cincin Pythonissam.

"Urusan kita sudah selesai," kata Carlise. "Kita berpisah di sini."

Aku hanya meliriknya sekilas. "Yah, tentu saja. Apa yang kau harapkan? Bersama terus sampai hari tua?"

Sementara aku terus berjalan, langlah Carlise terhenti. Begitu aku menoleh, dapat kulihat wajahnya yang memerah dan mata yang berkaca-kaca. Lho? Emangnya aku salah bicara?

"Kalau ... suatu saat nanti kita bertemu lagi, jangan pura-pura lupa aku!" ucapnya yang terdengar seperti ancaman di telingaku.

Aku menaikkan alis. "Tentu, kita sudah menjadi ... uh, patner selama 2 tahun."

Kami diam agak lama. Wah, canggung sekali perpisahan ini. Aku mengelus tengkuk. Merasa aneh, aku pun berkata, "Semoga beruntung dengan segala macam urusan anehmu."

Carlise tersentak. Dia menghela napas sebelum akhirnya memamerkan senyuman menyebalkan yang entah mengapa agak kurindukan. "Tentu saja, jangan samakan aku denganmu kakek!"

Aku mendengus.

"Semoga berhasil dengan urusanmu juga! Sampai jumpa!" Lagi-lagi, ketika aku berkedip, gadis itu sudah hilang.

Carlise Trystyn ....

Uh, perasaan menggelitik aneh apa ini?

-----***-----

Little Note '-')/

2 Chapter lagi Anazítisi tamat!!!
Aw, terhura sekali aku, tidak percaya bahwa ceritaku akan ada yang tamat \(T∇T)/

Nanti, mungkin pas bulan agustus, ketika setidaknya Where sudah tamat, aku akan mulai merevisi Anazítisi. Revisi besar-besaran!

🗣: Pesimis banget. Kalau menang gimana?

Menang? Menang apa? TMR? Kalau menang ya ... hamdalah. Mungkin aku akan pingsan. Tapi, yaudah, mimpi aja terus.

Mimpi, mimpi, mampus ^-^)✨

Anazítisi [END]Where stories live. Discover now