Chapter IV

99 31 28
                                    

---=== Revised ===---

Perasaan itu berbeda dengan saat ketika aku menggunakan mantra Schalter, tidak ada rasa mual atau perasaan menggelitik perut. Akan tetapi rasanya jauh lebih buruk! Tubuhku seakan dicabik-cabik, energiku dikuras secara perlahan. Kepalaku seakan diputar secara acak hingga membuatku merasakan rasa pusing yang luar biasa. Saat kesadaranku nyaris lenyap, kilatan cahaya putih kembali muncul. Lalu kurasakan tubuhku terbanting dan menghantam tanah.

Aku mengerang, berguling di atas tanah—mengabaikan fakta bahwa tasku sudah tergeletak entah ke mana—sambil sesekali meringis. Cincin sialan ini memang sudah sangat tua. Aku akan menyukai mantra teleportasi ini? Omong kosong! batinku memaki.

Setelah beberapa saat, meski masih merasakan sakit, kupaksakan tubuhku untuk kembali berguling, memutar tubuhku yang semula telungkup untuk terlentang di atas tanah. Dengan napas terengah-engah, netraku menelaah langit biru di atasku. Tidak ada bintang yang menjadi ciri khas Benua Notos, hanya langit biru polos tanpa awan ataupun burung. Setelah dapat bernapas dengan normal, kusadari bahwa terdapat aroma-aroma manis di sekitar sini.

Meski berkali-kali mencoba untuk berpikir positif, itu tidak akan mengubah fakta bahwa aku tersesat—ah, tepatnya terpental dari titik yang kuinginkan. Tempat ini bukan bagian dari Benua Notos.

Kuangkat tubuhku secara perlahan sambil sesekali meringis. Lengan kiriku mati rasa, pergelangan tangan kananku terasa kaku dan kedua kakiku keram. Perut dan kepalaku berputar hebat setiap kali aku mencoba untuk bangkit. Kepalaku yang masih terasa berat menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari keberadaan tasku. Aku mendesah penuh kelegaan saat menyadari tasku tidak terpental terlalu jauh. Menahan semua rasa sakit itu, kuseret tubuhku lantas mendekap tas itu.

Tubuhku masih terlalu nyeri untuk bangkit tetapi aku tampak seperti orang gila bila tetap duduk di tanah seperti ini. Namun aku menyerah untuk meraih tasku ketika perutku kembali berganduh dan aku memuntahkan isi perutku.

“Astaga, Tuan, Anda baik-baik saja?” Kulihat seorang wanita dengan rambut jade bergelombang berjalan mendekatiku. Jika dilihat dari wajahnya, mungkin saja dia berusia 5 tahun lebih tua dariku. Wanita itu memiliki iris mata secerah langit. Dengan senyuman, ia mengulurkan tangannya seraya berkata, “Butuh bantuan?”

Aku terdiam, menatap uluran tangannya, sembari menimbang-nimbang apa aku harus menerima bantuan dari orang asing atau tidak. Agak malu bagiku untuk mengakuinya, tapi mau tidak mau aku memang harus menerima uluran tangannya. Kalau aku keras kepala dan tidak menerima bantuannya, aku bisa jadi gelandangan di tempat antah-berantah. “Ya, terima kasih.”

Memungut tasku yang berada tak jauh dari kami, wanita itu langsung membantuku berdiri dan memapah tubuhku. Setelah aku berhasil berdiri, ia lantas bertanya, “Apa kau pendatang yang terjatuh dari kereta kuda?”

Aku mendesis atas pertanyaannya.  “Pertanyaan konyol macam apa itu?”

Bukannya membalas, wanita itu malah tertawa kecil. Anehnya suaranya sangat nyaring di gendang telingaku walau hanya kekehan kecil. Lagi pula, apa yang dia tertawakan, huh? Bagus Cheren, di awal perjalananmu, kau sudah bertemu orang aneh.

Jalanan yang kami lewati berwarna keemasan. Dari ekor mataku, dapat kulihat pepohonan dengan dedaunan kuning yang mengkilap di sekitar jalan. Aroma manis yang memenuhi indera penciumanku cukup pekat dan memabukkan. Hal itu membuatku bertanya-tanya, sebenarnya aku jatuh ke mana?

“Jarang sekali ada pendatang yang berkunjung ke Kota Miel, tahu?” Ucapan kalem wanita itu sontak membuatku terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Mendapati reaksiku yang terkejut, wanita itu menaikkan alis. “Kau benar-benar tersesat, ya, Tuan?”

Anazítisi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang