Chapter XXI

45 17 8
                                    

Dapat kurasakan bahwa kini aku tengah tertidur di hamparan rerumputan. Belaian lembut seseorang membuatku malas untuk membuka kedua mataku, tetapi aku harus membukanya. Aku tau bahwa yang membelaiku bukanlah ibu. Namun, entah mengapa ketika aku membuka mataku, aku malah mengucapkannya. "Ibu ...?"

Sepasang mata yang memantulkan cahaya keemasan langsung menyambut penglihatanku. Aku mengerjab tatkala menyadari bahwa nenek elf itu tengah memangkuku. Dia terkekeh. "Kau pasti bertemu dengan Alainn tadi," terkanya dengan senyum menyebalkan.

Aku hanya mendengus sebagai balasan. Cahaya mentari yang menyelinap dari dedaunan perlahan menyenai wajahku hingga aku terpaksa memincingkan mataku seraya bangkit. "Yang lain ke mana?"

"Sibuk menyiapkan makanan untukmu," jawabnya seraya bangkit dan menepuk-nepuk bokongnya. "Ayo, bangun! Karena mana-mu sudah bercampur dengan milik Alainn, kau tidak memiliki alasan untuk pingsan selama 5 jam lagi," ucapnya. Setelah itu dia berbalik dan berjalan mendahuluiku.

Meninggalkanku yang masih terduduk dan tercengang. "5 ...jam?"

*****

Tidak banyak yang terjadi setelah hari itu. Porsi makanku memang dikurangi dan latihanku sedikit diringankan. Hanya sedikit, tetapi cukup membantu. Mereka melatih fisikku; hingga tubuhku yang semula agak bungkuk menjadi tegap, tubuhku yang kurus jadi agak berisi, perutku ... berotot.

Beberapa elf wanita mengajariku cara merawat wajahku agar terlihat muda. Mereka bilang wajahku mirip kakek-kakek tua.

Para elf juga mengajariku beberapa mantra. Salah satunyanya adalah Salutare, mantra penyembuh. Mereka bilang ini adalah mantra penyembuh yang hanya bisa digunakan oleh elf. Karena aku setengah elf, aku bisa melakukannya meski tidak sehandal mereka. Lalu ada juga Lumay, mantra untuk menghilang secara total. Baik suara, aroma, bahkan raga akan menghilang saat menggunakan mantra ini.

Terakhir, para elf itu juga mengajariku memainkan pedang dan anak panah. Demi nama Melviano Anfhony, itu sangat sulit! Aku ingat bagaimana rasanya saat pertama kali mengayunkan—oh, lebih buruk—ketika kali pertama aku mengangkat pedang. Rasanya seperti tengah mengangkat batu yang ukurannya 2 kali lebih besar dari tubuhmu!

Aku tak dapat menghitung hari di dalam hutan ini. Kadang siang 12 jam, kadang siang 3 jam. Hanya para elf yang mampu beradaptasi dengan perubahan waktu tak menentu itu. Sedangkan aku lebih memilih untuk duduk dan membaca buku yang berada di tasku sampai akhirnya tertidur.

Pagi ini aku telah membulatkan tekad untuk pergi keluar dan melanjutkkan pencarianku. Nenek elf itu menyarankanku untuk pergi ke Benua Voreios untuk menjelajah dungeon. Katanya karena aku bukan pengguna asli Gyeyag, akan sulit untuk menembus dimensi para naga jika tidak memiliki itu.

Ketika sekelompok elf lelaki lain memilih untuk melanjutkan aktifitas fisiknya dan berlatih pedang, aku tengah sibuk dengan busur dan anak panahku. Terkadang aku menggunakan sedikit sihir untuk membuat sasaran bergerak.

"Kau tau tidak, bahwa kau telah di sini selama 9 bulan?" tanya seorang gadis elf sembari duduk dan memangku jatah makananku. Aku yang sedang membidik pun terpaksa menurunkan busurku dan menatapnya.

Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya menjadi, "Jangan lupakan fakta bahwa waktu antara hutan ini dan dunia luar itu berbeda."

Dia hanya membalas dengan kekehan. Setelah melepaskan anak panah terakhirku, aku pun melemparkan busurku ke sembarang arah dan duduk—dengan menjaga jarak—di sampingnya. "Nenek elf itu mengajariku sedikit soal membaca rasi bintang."

Aku mendongak seraya menunjuk ke atas. "Malam ini akan terbentuk pola bertuliskan 'MinA' di sana."

"Huh?" Elf itu menoleh ke arahku. "MinA? Apa itu?"

Aku mengangkat bahu. "Aku hanya membaca polanya tanpa sengaja. Abjad lama, bukan abjad Dunia Mazard yang sekarang."

Dia mengangguk sebagai balasan kemudian menyerahkan nampan berisi makanan padaku. Dia membiarkanku makan dengan tenang semtara netranya menatap langit. Angin yang berembus menciptakan musiknya sendiri di tengah kesunyian.

Tak lama setelah itu, gadis elf itu bertanya, "Kapan kau akan berangkat? Katanya kau akan ke Voreios, ya?"

"He'em," jawabku singkat sembari terus memakan jatahku.

"Dungeon bukan tempat yang mudah kau taklukan, lho. Kami bisa membantumu untuk mencari pasangan batu cincin itu kalau kau mau."

Mendengar itu, aku menjawab dengan nada setengah bercanda, "Benarkah? Silakan saja! Aku jadi hanya perlu duduk diam dan menanti hasil ker—aw!" Aku meringis tatkala tangan gadis itu memukul kepalaku.

Dia kemudian bangkit dan berkata, "Setelah urusanmu selesai, kapan-kapan mampirlah lagi. Aku bibimu ngomong-ngomong." Setelahnya kedua kaki yang dihiasi dengan gelang kaki itu bergerak meninggalkanku.

Aku terdiam sejenak sebelum angin yang berembus membawa serta aroma musim semi yang membuatku teringat pada seseorang. Aku menoleh ke belakang. "Hei! Apa seorang gadis bernama Carlise pernah datang ke sini?"

Elf itu membeku di tempat. Dia melirikku sambil menjawab, "Maksudmu gadis kecil berambut silver itu? Yah, dia sempat menjadi bagian dari kami."

Kemudian dia pergi. Dapat kurasakan tatapan dingin darinya membekas di area sekitar. Aku mengelus tengkuk. Kenapa setelah sekian lama ... aku malah teringat dia?

*****

"Vorota dvizhutsya ...." Aku menoleh ke belakang dan menaikan salah satu sudut bibirku kemudian masuk ke portal.

Pendaratanku lagi-lagi sempurna. Aku mendongak, guna memastikan bahwa langit normal. Kemudian pandanganku beralih pada lingkungan sekitar. Suasana ribut dan keramaian ini ....

Astaga, aku ... aku berhasil! Kali ini teleportasi tanpa gangguan, tersesat, atau hal buruk lainnya! Ha! Lihat ini, Melviano Anfhony! Aku, Cheren Maghnus Abathmob, berhasil menggunakan mantra teleportasi kuno tanpa ada kesalahan sedikit pun!

Dengan tas besar di punggung, aku melangkah dengan tekad kuat di tengah keramaian. Dapat kulihat beberapa orang menenteng senjata mereka, entah itu ada pedang atau tongkat sihir yang cukup besar dan panjang. Di tengah kebingungan ini aku menemukan suatu tempat yang cukup ramai dengan orang-orang yang beratribut selayaknya seorang ... petualang, mungkin?

Karena aku tak ingin terlihat seperti orang konyol, aku memilih untuk mendatangi tempat itu dan bertanya pada orang-orang. Ya, setidaknya tempat itu cukup ramai aku bisa menemukan informasi.

Di bawah sinar mentari yang begitu kurindukan, aku melangkah menuju tempat itu. Ketika pintu kubuka, bunyi lonceng dan keramaian langsung menyambutku. Rupanya tempat ini cukup luas di dalam.

Aku mendekat ke barisan orang-orang yang mengantri. Entah untuk apa mereka mengantri. Tapi menurut analisis kecil-kecilku, antrian ini adalah untuk orang-orang yang ingin mendapat semacam ... info atau sesuatu mungkin. Nah, ucapanku terbelit-belit.

Baru saja aku hendak melangkah, pekikkan kaget seseorang membuatku--dan beberapa orang--menoleh ke pintu. "L-lho ... Cheren?! Apa yang terjadi denganmu?! Kenapa kau jadi ganteng?!"

Aku mengernyit tatakala netra yang menyerupai musim semi itu memandangku. "Carlise?"

-----***-----

Little note untuk diriku sendiri, ahay (ノ≧∀≦)ノ

Chapter XXI = 1001 kata.

Anazítisi [END]Where stories live. Discover now