Chapter XII

60 24 0
                                    

Kegelapan ini terasa begitu senyap dan ... menenangkan. Ngomong-ngomong, siapa aku? Tempat apa ini? Tubuhku seakan terombang-ambing di tengah udara kosong. Sebuah cahaya penuh kehangatan tiba-tiba datang menghampiriku.

"Cheren ...." panggil cahaya itu. Suaranya begitu lembut dan terdengar seperti suara yang selalu kurindukan. Salah satu tanganku pun terulur, berusaha menggapai cahaya itu. Sekilas kulihat, ada seorang wanita yang merentangkan tangannya seakan ingin menarikku dalam dekapannya.

Entah kenapa ... aku seakan mengenal wanita itu. Tanpa sadar, aku bergumam, "Ibu ...?"

*****

"Dia masih hidup! Dia masih hidup!" pekik seseorang dari kejauhan.

Kepalaku berputar hebat ketika aku mencoba menggerakkannya. Telingaku berdengung cukup hebat hingga aku merasa tuli dengan suara lainnya. Kedua tanganku menekan telingaku sambil mengerang. Jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya dan napasku mulai tidak teratur.

Kurasakan seseorang membelai rambutku dengan begitu lembut. "Sssth, tenanglah," bisiknya lembut.

Perlahan, rasa sakit itu menghilang. Bahkan dengungan di telingaku sudah menghilang ketika tangan itu membelaiku. Napas dan detak jantungku pun kembali normal seketika.

Belaian itu mengingatkanku pada Nyonya Amical. Pada saat aku masih dalam masa beradaptasi dengan lingkungan luar, aku terserang demam yang cukup parah. Dia membelai dan merawatku selayaknya ... putranya sendiri.

Perlahan kubuka kedua kelopak mataku. Kulihat seorang dengan pakaian yang tertutup tengah duduk dan mengelus-elus kepalaku. Wajah dan kepalanya ditutupi kain, satu-satunya yang terlihat hanyalah kedua iris aqua miliknya.

"Kau sudah tenang?" tanyanya lembut.

Aku hanya diam. Kedua netraku memerhatikan sekeliling, sembari mencari tau keberadaanku sekarang. Ruangan ini berwarna kelabu. Polos, tanpa hiasan apapun. Bahkan tidak ada lemari atau benda lain selain ranjang yang kutiduri.

Tatapanku beralih pada orang yang masih mengelusku. Dia mengenakan sarung tangan dan dress-atau mungkin itu jubah-yang menutupi tubuhnya. Bukankah pakaiannya begitu mencurigakan?

"Di mana ini?" tanyaku dengan suara serak.

"Di kuil, Tuan Yang Tiba-tiba Saja Muncul," jawabnya.

... Tiba-tiba saja muncul? Kuil?

Ah, aku ingat. Aku meninggalkan Donna dan Dhiib setelah Dhiib memberiku kalung yang katanya dapat membantu dalam teleportasi cincin itu. Yah, bukan salahku. Karena sejak awal aku sudah memperingatkan mereka.

Tunggu! Cincin dan kalung itu! Cepat-cepat kuraba leherku dan jari manis tangan kananku. Cincin dan kalung itu ... hilang.

Tatapanku beralih pada orang yang genrenya tidak kuketahui itu. Kutepis tangan yang membelaiku itu dan menatapnya tajam. "Di mana barang-barangku? Cincin, tongkat, kalung dan tasku. Di mana mereka?" tanyaku dengan nada mengancam dan suara serak.

"Oh, maksud Anda barang-barang tidak berguna itu?" Dia terkekeh sebelum melanjutkan. "Di ruang bawah tanah pastinya. Di tempat ini, tidak boleh ada buku lain selain kitab suci."

Aku hendak menyela, tetapi iris mata orang itu menatapku tajam. "Anda pasti lapar karena telah tertidur selama sebulan, Tuan. Saya akan membawakan makanan untuk Anda," ucapnya kemudian berlalu begitu saja keluar ruangan.

Aku berdecak. Apa maksudnya aku tertidur selama sebulan? Apaan itu?!

Tubuhku mulai menggeliat, berusaha bangkit dan pergi keluar untuk melihat-lihat. Namun, alih-alih berhasil bangkit, tubuhku justru terguling jatuh dari ranjang. Wajahku langsung menghantam lantai. Aku meringis. Aku mencoba untuk bangkit beberapa kali. Akan tetapi kaki dan otakku tidak sependapat.

Kurasakan benda cair mengalir dari lubang hidungku dan menetes pada lantai. Ah, situasi ini mengingatkanku pada tempat itu. Kedua kelopak mataku refleks terpejam. Kuatur napasku dan berusaha menghentikan cairan hidung itu keluar.

"Hei! Akh, kenapa kau bisa terjatuh?!" seru seseorang yang mungkin saja kini tengah berada di ambang pintu. Suara langkah kaki yang mendekat membuat kedua mataku terbuka. Seseorang membalik tubuhku yang semula telungkup terbaring di atas lantai batu.

Nampak, seorang lelaki dengan rambut panjang kemerahan yang diikat dan netra kebiruan yang tengah menatap tajam diriku. "Bagaimana bisa kau terjatuh seperti ini?!" tanyanya dengan nada tinggi.

Kunaikan salah satu sudut bibirku. "Kalau kau tidak niat membantu, seharusnya biarkan saja aku seperti tadi."

Kulihat dia mengernyit, dan yang pasti itu bukan berarti bingung. "Maksudmu membiarkanmu mati kehabisan darah? Orang gila!" hardiknya kemudian dengan cepat menarik tubuhku naik. Dia membanting tubuhku ke atas ranjang tanpa memberi peringatan. Apa dia adalah Akala versi laki-laki?!

Aku meringis. Ternyata menghantam sesuatu itu tetap menyakitkan meski itu adalah ranjang.

Dia melemparkan kain putih padaku dan memberi tatapan untuk mengelap bekas sisa darahku. Dengan susah payah, kugerakkan tanganku untuk mengelap darahku.

"Orang itu ingin kau memakan ini," ucapnya dengan nada tak ikhlas seraya menyerahkan sepiring makanan padaku. Bentuk makanan ini terlihat asing di mataku.

Aku menatapnya dengan dahi mengernyit. "Dari mana aku tau makanan ini tidak beracun?" tanyaku. Mana mungkin aku langsung percaya begitu saja pada orang-orang di sini! Bisa saja mereka kanibal!

Dia mendesis. "Kau di kuil bodoh! Mana mungkin ada racun di dalam makanan ini!"

Aku menggeleng cepat. "Aku lebih suka kalau tongkat dan barang-barangku dikembalikan dibanding harus memakan makanan yang namanya bahkan tidak kuketahui," tolakku.

Dia mendesah dan duduk di sisiku. "Dengar, segala sesuatu yang berhubungan dengan sihir dan sudah berada di ruang bawah tanah tak akan bisa kau ambil lagi," jelasnya sembari kembali menyodorkan makanan itu padaku. "Cepat makan untuk mengisi tenagamu. Setelah itu, kuantar kau keliling kota."

*****

Tempat ini jauh lebih ramai dan normal dibanding kota Miel. Keramaian langsung menyambut kedatanganku. Ah, ma-maksudku bukan berarti mereka menyambutku secara resmi. Hanya saja tempat ini ... seakan menyambut kedatanganku.

Begitu meriah. Akala pasti senang melihat ini, mengingat di tempat kami jarang ada perayaan.

Enggan bagiku untuk mengakuinya, tapi aku memang lapar. Dan makanan dari lelaki itu membuat energiku kembali. Jadi ... aku menambah 2 porsi lainnya dan sekarang aku segar bugar.

Aku membalik tubuhku dan mundur perlahan, memerhatikan bangunan kuil yang nyaris semegah kediaman Pythonissam. Bangunan itu bernuansa putih dengan ukiran-ukiran rumit yang sangat indah. Pintu dan bingkai jendela tempat ini terbuat dari perak. Ada pernak-pernik yang nama dan bentuknya tidak kuketahui.

Yah, di kota Xeko memang tidak ada kuil. Jadi ini adalah kali pertama aku melihat kuil.

Kakiku melangkah menuruni tangga putih kuil yang luar biasa panjangnya. Begitu menginjakkan kakiku, anak-anak kecil langsung menyambut dan memberikan bunga padaku. Sungguh, pemandangannya yang indah. Benar-benar tidak terduga. Kupikir aku akan jatuh di tempat mengerikan lainnya.

"Ramai sekali," gumamku takjub. Kutolehkan kepalaku pada orang itu dan bertanya, "Kita di mana sekarang?"

Oh, semoga tidak terlalu jauh dari tujuan awalku.

Dia berdecak. "Birni," jawabnya. "Ibu kota Negara Chetiri di Benua Notos."

Anazítisi [END]Where stories live. Discover now