6 - Sidang Keluarga Gubernur

11.3K 1.2K 45
                                    

Arden kini hanya bisa menunduk di meja makan, rasanya ia sungguh seperti sedang akan menghadapi vonis mati. Sangat menegangkan. Menakutkan!

Bisa ditebak pula oleh Arden, bahwa yang saat ini Lea duduk di sampingnya juga sedang merasakan ketegangan tidak kalah besarnya dengan apa yang ia rasakan. Bahkan beberapa kali gadis tersebut terdengar menghela napas pendek.

"Kita bisa" Arden tiba-tiba berbisik, dan langsung menggenggam tangan dingin Lea dibawah meja, jelas hal itu langsung membuat Lea kaget. Mami Lea yang sedari tadi bersedekap dihadapan mereka, kini kian menatap heran, dan hendak melempar Arden dengan sendok garpu, jika saja ia tidak ingat bahwa penganiayaan, masuk dalam tindakan larangan di salah satu pasal undang-undang.

"Lea pindah tempat duduk!"

"Mi tapi kan-"

"Nggak ada tapi-tapi an! Pindah, sekarang!"

Lea baru saja hendak berdiri saat tiba-tiba papinya memasuki ruang makan, masih lengkap dengan menggunakan baju dinasnya.

"Duduk di situ saja Le, gapapa"

Hal tersebut membuat Mami Ileana langsung mengajukan protes namun beruntung dengan cepat Papi Lea memberikan senyuman penenang untuk istrinya. Akhirnya meski dengan sangat jengkel wanita sosialita tersebut memilih untuk mengalah, membiarkan putrinya duduk di dekat laki-laki yang menurutnya sangat kurang ajar.

Demi Tuhan, Mami Lea masih belum bisa memaafkan kelakuan Arden yang seenak jidat mencium pipi putrinya di hadapan publik. Kurang ajar!

Ditambah lagi, kini ia memiliki firasat buruk bahwa suaminya nampaknya tidak akan menjalankan peran sesuai rencana yang telah mereka susun dalam panggilan telpon satu jam jam lalu.

"Om, saya minta maaf"

Arden buru-buru berdiri saat Papi Lea sudah mendekat ke arah salah satu kursi makan. Tidak disangka respon yang diberikan oleh pria yang kini menjabat sebagai Gubernur tersebut, sungguh bertolak belakang dari Mami Lea. Ia tersenyum ramah dan langsung menepuk-nepuk pundak Arden, seolah mengtakan "Tidak apa-apa"

"Kita makan dulu saja ya, nanti setelah makan baru kita ngobrol-ngobrol. Om kebetulan ada waktu longgar 1 setengah jam, lumayan bisa kita pakai buat saling kenal"

Dengan ragu-ragu Arden mengangguki kalimat Papi Lea. Ia berani bersumpah bahwa sesungguhnya sikap baik Papi Lea tidak sedikitpun menurunkan rasa tegang dalam dirinya. Terlebih, saat ini mereka sedang dijaga ketat oleh bodyguard di luar ruang makan, yang mana mereka tentu siap kapanpun melakukan eksekusi jika mendapatkan intruksi dari Papi Lea.

"Lea, itu coba Arden dibantuin ambil makanannya, lauknya tambahin lagi. Masa dia cuma ambil ayam goreng doang" Intruksi dari sang Papi langsung dituruti oleh Lea dengan cekatan, kali ini lagi-lagi Arden dihujani oleh tatapan sangat tidak menyenangkan dari Mami Lea. Dan lagi-lagi hanya ia balas dengan senyuman kaku. Meski sejujurnya Arden sangat ngeri ketika melihat Mami Lea menatapnya horor sambil menusuk-nusuk ayam di piring menggunakan sendok garpu.

Suasana makan siang kali ini sungguh berbeda dari sebelum-sebelumnya, bagi Lea ia tidak pernah membayangkan akan makan siang dalam suasana semenegangkan ini. Padahal, biasanya meja makan selalu menjadi salah satu tempat paling menyenangkan bagi dia dan orang tuanya untuk bercengkrama, melemparkan banyak candaan, juga berbagai obrolan.

"Kalian berdua harus putus. Mami gak setuju kamu pacaran sama dia!"

Tanpa dikomando oleh siapapun, setelah semua orang menyelesaikan acara makan siang, Mami Lea langsung angkat bicara dengan sangat tegas. Dan itu sungguh bukan hal mengejutkan bagai semua orang yang ada di meja makan.

"Mi, ini adalah hidup Lea, jadi biarkan Lea yang menentukan. Mami gak berhak ngatur-ngatur urusan Lea kaya begitu"

"Tuhkan, belum lama pacaran sama dia, kamu sudah berani nentang Mami!"

"Mi-"

"Udah cukup" Papi Lea buru-buru menengahi dengan nada bicara penuh wibawa.

"Arden, kamu serius sama anak Om?"

Mendapatkan pertanyaan demikian jelas langsung membuat Arden tergagap, apa yang harus ia jawab? Apa ia harus mengatakan bahwa semua hanya sandiwara? Jelas itu bukan ide baik! Tapi kalau dia bilang serius, dan suatu saat ternyata mereka putus, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh orang nomor satu di Provinsi ini? Apa Arden harus meninggalkan Jakarta?

"Aaakk-"

Cubitan di paha yang dilakukan oleh Lea membuat Arden nyaris berteriak. Ia hampir mencaci maki Lea, namun untungnya kesadarannya mengingatkan bahwa ini bukan momen yang tepat untuk melakukan adu mulut dengan gadis berambut ikal itu.

"I-iya Om saya serius sama Lea, saya gak ada niatan main-main sama Lea" Arden memberikan jawaban setelah beberapa detik sebelumnya melakukan eye contact dengan Lea.

"Oke, kalau begitu tidak ada masalah"

"PI!!!!!!" Mami Lea berteriak kencang memberikan protes pada suaminya, bisa-bisanya dengan gampangnya ia memberikan persetujuan untuk hubungan yang seharusnya ditentang dan diselesaikan itu. Dan lagi, bukankah baru saja suaminya melakukan penghianatan?

"Mi, Lea sudah besar. Sudah bukan saatnya lagi kita terlalu mengekang dan mengatur dia. Apalagi ini masalah jodoh, biarkan Lea yang menentukan. Usia Lea juga sudah memasuki usia wajar menikah-"

UHUK UHUK UHUKKK

Sial sekali, saking kagetnya mendengar kata menikah dari mulut Papi Lea, Arden sampai tersedak ludahnya sendiri.

Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba membahas tentang pernikahan? Papi Lea tidak sedang berusaha untuk menyuruhnya menikahi Lea kan?

Dengan cekatan Lea mengelus punggung Arden dan menyodorkan air minum. Lihatlah, Lea sungguh mahir memerankan peran pacar yang baik untuk Arden.

"Kamu baik-baik aja Den?"

"Nggak papa om, nggak papa cuma gatel aja tenggorokannya hehe"

"Bener? Bukan karena kamu nggak ingin nikahin Lea kan?"

SKAKMAT! percayalah bahwa Arden hampir mati lemas ditempatnya karena mendapatkan pertanyaan tersebut dengan tatapan super dingin dari pria yang dipanggil Papi oleh Lea.

"Nggak lah om, saya serius sama Lea, jadi sudah jelas bahwa tujuan saya adalah menikahi Lea"

Wajah dingin Papi Lea langsung berubah dalam sekejap, ia langsung mengangguk-angguk dan memberikan senyuman pada Arden. "Bagus, om pegang kata-kata kamu"

"Baik om"

"Om akan selalu restui hubungan kamu dan Lea asalkan kamu bisa berjanji, bahwa kamu tidak akan membuat Lea menangis, tidak akan membuat Lea kecewa, apalagi sakit hati. Dia adalah putri tunggal kami Den, satu-satunya harga yang bisa kamu bayarkan pada kami untuk mengambil Lea adalah ketulusan dan cinta kasih. Kamu harus percaya bahwa selama ini kami selalu berusaha untuk memberikan semua yang Lea inginkan, dan selalu berusaha membahagiakan dia. Jadi, om harap kamu juga akan melakukan hal yang sama"

Saat itu rasanya Arden tiba-tiba tertimpa beban yang teramat berat, pundaknya bahkan kini terasa sangat lemas. Namun entah mengapa beban berat itu mulai terasa ringan, saat ia berbalik, memandang Lea yang ada disampingnya tengah memberikan senyuman yang, Ya Tuhaan, manis sekali.

"Saya berjanji Om. Saya akan mengupayakan apapun untuk kebahagiaan Lea"

Ucapan Arden terdengar sangat mantap dan meyakinkan, ditambah lagi ia menggenggam tangan  Lea dengan sangat kuat, seperti ingin menunjukkan bahwa tekad ia sungguh-sungguh. Lea bahkan hampir tertipu bahwa semua ini hanya sandiwara.

Sedangkan Arden, mungkin ia tidak pernah mengerti konsekuensi dari janji yang ia buat hari ini.

BERSAMBUNG

Terimakasih banyak untuk kalian yang sudah baca cerita ini, tolong klik bintang yang ada di bawah dan tuliskan komentar kalian tentang part ini 🤗

Thanksluv
Nona♥️

90 DaysOnde histórias criam vida. Descubra agora