8 : Benih-benih Cinta Mulai Tumbuh

22K 1.1K 173
                                    

#Langit

"Ta-tapi, Den. Bisa bahaya kalo ketahuan. Udah nanti aja ya? Pak Danang janji bakal ngabisin waktu berdua sama Den Langit sepuasnya," kata Pak Danang panik sembari mendorong-dorong kepalaku supaya menjauh dari pen*snya.

Aku bersikukuh menolak. Lagian selama kita berdua gak berisik kan Petruk bakal pergi dengan sendirinya, toh pintu Pak Danang kunci dari dalam. Sialnya, saat aku mengendurkan tenagaku, Pak Danang pun berhasil lolos sehingga buru-buru dia kembali memakai celana katunnya kemudian melangkahkan kaki membuka pintu.

"Ya, Petruk? Aya naon?"

"Pak Danang la-lagi apa?"

"Ini nyantai sama Den Langit di saung. Malam-malam gini kan enaknya ngopi. Sini gabung, Pet," timpal Pak Danang berakting sewajar mungkin seolah tidak terjadi apa-apa.

Anehnya Petruk terlihat gusar sambil mandangin layar ponselnya. "Sampe jam be-berapa, Pak? Soalnya saya ma-mau nyantai juga di sini."

"Lah? Sama-sama nyantai ya bareng aja atuh kamu teh. Aneh. Udah sini, tuh airnya udah mateng, bikin sendiri sana."

Jadilah kami bertiga minum kopi. Karena aku gak suka kopi, aku satu-satunya orang yang minum teh manis, kelewat manis malah karena Pak Danang gak kira-kira menambahkan gula 3 sendok ke dalam gelas.

Suasana di saung ini terasa kolot sekali bagiku di mana cahayanya remang-remang dan tak terlalu terang. Beda sama di rumahku yang gudang aja terangnya sampe menyilaukan mata.

Selama ngobrol sama Pak Danang, fokus mata Petruk tertuju pada layar ponselnya. Sedang apa dia ya? Apa SMS-an sama pacarnya? Serius amat kelihatannya.

Kalo aku sih sibuk dengan pikiranku sendiri, memikirkan sudah tepat atau belumkah aku kabur dari rumah. Jangan terlalu keras berpikir, Lang. Ikuti aja arus hidupmu sekarang ini, lihat, perhatikan dan akan sejauh mana kamu melangkah. Ya, selama aku merasa damai tidur dan menjalani hari, kurasa boleh kukatakan jika aku sudah tepat meninggalkan rumah.

"Ngobrol atuh kalian jangan diem wae," kata Pak Danang ke kami berdua.

Aku gelagapan. "Errrr Kang Petruk saya boleh minta nomor HP-nya?"

Hanya dalam 1 detik sudah terjawab dia enggan, terlihat dari reaksi tubuhnya. Namun karena di hadapannya ada Pak Danang, Petruk pun terpaksa memberikan nomor ponselnya padaku.

Kukirim pesan : Kang ini Langit, simpen ya :)

Tak lama kemudian keluar bunyi dari ponselnya. Dia natap layar kaca sebentar lalu menatapku tajam, tidak membalas pesanku sama sekali. Dasar cowok gak ramah. Kentara sekali nih orang tidak menyukai diriku bahkan hanya dengan melihat matanya. Padahal kan aku ingin akrab, tapi gimana caranya ya?

Baru satu teguk aku minum teh hangat buatan Pak Danang, kulihat beliau terlihat kaget mendapati bunyi telepon dari seseorang. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang sangat kukenal, membuatku terdiam dan sontak memegang erat gelas yang sedang kupedang.

Karena Pak Danang lebih memilih mengobrol di luar, aku jadi gak bisa mendengar apa yang mereka obrolkan, selain itu gak pengen tahu juga jadi aku cuma diam di dalam sambil mandangin gelas.

Tak lama kemudian Pak Danang kembali, wajahnya terlihat cemas dan kalut.

"Dapat telepon dari siapa, Pak?" tanyaku walau aku yakin dari si brengsek.

"Dari Bos Besar, Den. Bos nyuruh saya Pak Danang pulang besok, di rumah katanya keadaan lagi kacau karena Den Langit hilang terus rencana Bos buat nikahin Den Langit sama rekan bisnisnya gagal," ucap Pak Danang membuatku tersenyum lebar.

Lelaki Desa [MxM]Where stories live. Discover now