Bab 18 : Gara-gara Daging Kambing

10.9K 979 587
                                    

Next 555 vote + 450 komen :p

Ini gak diedit. Saya nulis dari siang dan selesai malam huhu. Maaf lama. Ternyata nulis susah ya kalo diburu-buru wkwk.

#Langit

"Mau makan di mana, Lang?" tanya Petruk. Syukurlah kali ini dia nggak berontak, bahkan tanganku dan tangannya masih bergandengan.

Jujur aku agak males sekarang pergi ke Simpang Remang-remang soalnya di sana suka ada Ani dan Saroh. Mereka suka ganggu kemesraan aku dan Petruk.

"Terserah Akang aja tapi jangan di Simpang. Ada tempat lain yang enak nggak, Kang?"

"Haduh yang deket aja, lah. Ngapain maneh teh pengen yang jauh segala."

"Pokoknya pengen di tempat yang lain!"

Kini giliran Petruk yang di depan menuntunku pergi ke suatu tempat. Petruk benar. Lumayan jauh jaraknya. Ada mungkin sekitar 500 meter kita jalan. Nggak jauh-jauh amat, lah. Cuman lumayan membuat keringat di dahiku bermunculan. Aku nggak pernah ke tempat ini. Kesan pertamaku: luar biasa.

Hanya ada satu warung terbuat dari bilik menyatu dengan rumah. Makanan di sini ternyata banyak jenisnya. Hal yang membuatku kaget adalah begitu banyak macam jenis gorengan. Mana masih panas lagi.

Akhirnya sampai di warung indah ini. Kenapa indah soalnya di depannya ada pemandangan pohon yang dan rerumputan hehe. Kayak lembah gitu atau rawa-rawa soalnya banyak sulur-sulur akar. Kok aku bisa tahu padahal hari sudah malam? Soalnya entah diambil dari mana, tiba-tiba di tangan Petruk ada senter. Masa sih senter itu dia ambil di lubang pantatnya?

"Kamu yang traktir?" tanya Petruk.

Aku mengangguk. "Akang bebas ngambil apa pun sebanyak apa pun."

Petruk pun ngambil gorengan pisang lalu dia makan dengan lahap. Tak lama kemudian, seorang Kakek-kakek datang lalu menyimpan baki yang di atasnya ada ubi ungu. "Mangga ubi Cilembunya, haneut keneh."

Ubi Cilembu. Aku pernah makan dulu di Jakarta dikirim Pak Danang. Ubi ungunya sangat manis, enak kalo dibakar. Yang ini juga dibakar jadi aku pun ngambil soalnya aku suka.

Tanpa kuduga, Petruk mengambil dua ubi sekaligus, mana besar banget lagi. Dia makan dengan lahap, sangat lahap. Hanya butuh waktu beberapa menit saya untuk Petruk menghabiskan ubi itu.

"Akang suka makanan ini?"

Matanya melirikku sebentar kemudian mengambil lagi ubi di atas baki. "Ya."

"Enak mana sama belut?"

"Dua-duanya."

Hoooo. Berarti ubi Cilembu ini termasuk makanan favorit Petruk. "Di sini ada belut?"

"Gak ada."

Mulai nih pejantan mengeluarkan aura dinginnya. Tapi nggak papalah. Soalnya Petruk terlihat anteng makan dengan lahap. Nggak usah udah habis berapa. Pokoknya semua ubi di dalam baki hampir dia habiskan. Malah sisa satu sekarang.

Pas tangan Petruk mau ngambil sisa ubi itu, buru-buru aku larang. "Katanya sepuas saya, Lang."

"Nggak boleh. Aku mau bawain buat Abah. Sisa ubi ini buat Abah."

Mata Petruk lekat menatapku lalu bibirnya samar-samar tersenyum tipis. Petruk pun bangkit lalu memesan nasi Tutug Oncom. Waduh. Udah makan banyak ubi masih mau makan nasi? "Nggak kenyang tuh Kang?"

"Lah emangnya kapan saya makan?"

"Ba-barusan?"

"Halah mana kenyang kalo nggak makan nasi. Kamu mau pesen juga nggak?"

Lelaki Desa [MxM]Where stories live. Discover now