Chap. 5 (Kabur)

736 82 36
                                    


"Ayah?"


Belum ada genap semenit Solar mengucapkan kata itu. Tubuhnya sudah di terjang oleh laki - kali paruh baya di depanmya. Solar ingin sekali melepas dekapan itu, tapi entah mengapa Solar malah sangat menikmatinya.

"Siapa Solar? Kalau tamu, aj-" Ucapan Ice terhenti saat melihat pemandangan yang indah menurutnya. Di mana sang adik, berpelukan hangat dengan orang yang telah lama ia rimdukan sekaligus ia benci.

"Apa itu kau? Ayah? Thorn kangen!" Belum sempat Ice lebih mendekat, adik polosnya yang baru saja dari halaman belakang rumah langsung berlari ke tempat itu dan langsung ikut berpelukan.

Melihat pelukan itu, Ice hanya bisa memandang mereka. Ingin sekali Ice mengusir sang ayah setelah mendengar cerita sang kakak tentang ayah mereka adalah dalang di mana mama mereka meninggal dan membuat mereka bertujuh menjadi anak piatu.

Mengepalkan tangannya erat, Ice berusaha agar tidak ikut kalut dengan keadaan saat ini dan tetap pada pendiriannya.

"Oh, udah keluar dari penjara?! Ngapain loe kemari?" Lagi - lagi, pandangan Ice teralihkan pada kakaknya yang baru turun dari lantai 2 dengan keadaan yang berapi. - rapi seperti ingin bertarung dengan seseorang.

Amato tersentak dan memandang ke arah Blaze lalu melepas pelukannya denga Solar dan Thorn" Blaze, kau kah itu? Mari ke sini nak, ayah rindu" sedikit ia berjalan menuju ke arah Blaze, namun sang empu masih memandang dengan tatapan benci yang kian mendalam.

"Blaze nggak kenal sama loe, emang loe siapa?!" Dengan sedikit membentak, Blaze membuat Amato terdiam dan akhirnya berjalan ke arah Blaze dengan tatapan kosong.

Pelukan pun kembali terjadi, tapi bukan pelukan hangat. Blaze masih memberontak saat Amato mencoba untuk memeluknya erat dan melepas rindu.

"Blaze, ini ayah. Ku mohon, ayah masih ada nak. Maaf ayah telah meninggalkan kalian" Setelah lama memendung air matanya, akhirnya Amato menumpahkan air mata di pundak Blaze. Blaze sedikit - demi sedikit luluh dan ikut terbuai dalam pelukan.

Ice semakin mengeratkan genggaman tanganya, mencoba tuk kuat.

Amato pun akhirnya menyadari keberadaan Ice yang tak jauh dari sana

"Ice, aya- " Belum sempat Amato memeluk Ice, ia sudah lebih dulu mundur perlahan.

"Ayah duduk saja di sofa, Ice akan buatkan teh hangat" Belum sempat Amato menjawab, Ice sudah lebih dulu meninggalnya untuk pergi ke dapur.

Amato hanya menghela napas dengan sifat Ice yang dingin menurutnya "Ayah tahu kamu rindu ayah, Ice. Tapi ego dan perangaruh Hali mengalahkan hasratmu untuk merindukanku. Tunggu saja, pertahanan kalian akan hilang tanpa adanya Halilintar"
























Keesokan harinya di rumah sakit





"Maaf Gem" Terlihat Taufan sedang membujuk Gempa yang sedang dalam mode emak - emaknya

"Huh, ini salah Kak Taufan. Kakak penyebabnya" Tanpa melihat ke arah kakak birunya, pandangan Gempa tertuju pada tubuh sang kakak sulung yang masih setia tidur di ranjang dengan mata terpejam dan tangannya yang kembali di pasangkan infus.

"Pliss Gem, aku kan nggak sekejam itu. Itu pelan kok, Kak Hali aja yang betah tidur" Masih membujuk, Gempa tidak bergerak sedikitpun dari pandangannya.

Sebenarnya kemarin mereka berdua sudah lega dengan keadaan Hali yang kembali tenang, tentunya dengan bantuan tangan sakti Taufan yang memukul tengkuk belakang Hali.

Tapi hari ini mereka berdua kembali khawatir, karena sejak kemarin pagi, Sang kakak masih saja memejamkan matanya dan belum siuman sama sekali. Inilah yang membuat Gempa sedikit marah dengan Kakak Birunya, Taufan.

ELEMENTAL DREAMS Where stories live. Discover now