08. Kita Sering Bertemu

83 23 9
                                    

Dua hari berlalu. Harusnya ada kabar baik yang didapat perihal kondisi Dr. Anna. Namun apa yang ia dengar beberapa menit lalu, mengakibatkan rahangnya mengeras. Sulit dipercaya. Seolah semua ini telah dirancang untuk mempermainkannya.

Dr. Anna menjalani operasi dan setalah itu koma. Mengingatnya membuat kendali Farraz nyaris hilang.

Farraz semakin mempercepat laju motornya. Membawanya cepat di atas rata-rata. Meninggalkan jejak cacian dan umpatan pada pengguna jalan lainnya.

Tidak peduli motor itu milik Gibran atau bukan. Farraz benar-benar meluapkan emosinya lewat motor itu.

Di tengah keramaian penggunaan jalanan malam, laki-laki itu menyelip seperti orang kesetanan. Deru klakson mobil juga dari motor lainnya sudah ia abaikan.

Semakin diumpat, maka dengan gilanya ia akan semakin melajukan kecepatan motornya.

Farraz secara tidak sadar membelokkan motor pada sebuah gang. Gang yang cukup besar namun terkesan sepi. Ia semakin membabi buta di gang itu. Farraz semakin mengebut hingga ia sampai ke ujung gang dekat pertigaan. Dari arah lima puluh meter kw depannya, ada tumpukan tong-tong yang hampir menutupi separuh jalanan. Laki-laki itu melewati tong-tong itu dan secara spontan sengaja menabrakkan diri ke arah tong itu karena kaget melihat seorang gadis yang sedang berjalan melawan arah dengannya.

Tong-tong yang semula berdiri rapi dan juga saling tindih itu akhirnya sukses jatuh, bersamaan dengan tubuh Farraz yang juga sudah ambruk terlebih dahulu pada jalanan. Suara gemuruh terdengar.

Sementara itu, sang gadis—penyebab Farraz dengan reflek menabrakkan diri pada tumpukan tong itu– kehilangan kata-katanya. Ia syok. Dua tangannya menutup mulut.

Hingga saat sadar, dia mendekati Farraz.

"Astaghfirullah!"

Dua telinganya mendengar pekikan itu meski masih ditutupi oleh helm fullface yang ia pakai. Dapat ia rasakan, tong-tong itu perlahan terangkat dari sebagian kakinya.

"Pegang lengan bajuku jika kamu tidak bisa berdiri. Setidaknya itu membantu."

Telinga Farraz kembali mendengar suara itu. Sedikit familiar pada ingatannya. Namun ia tidak terlalu memikirkannya. Lantas, pandangannya ia hadapkan ke atas. Melihat sebuah uluran tangan dari seseorang.

Tanpa berniat menggapai uluran itu, Farraz memilih bangkit sendiri. Ringisan keluar dari bibirnya karena rasa sakit yang menjalar pada kaki kanan.

"Ahk!"

"Aku bantu!"

Farraz kesal. Dengan segera ia membuka helmnya. Tangannya tergerak untuk merapikan rambut yang berantakan. Lalu setelah itu, baru tatapannya seratus persen pada wajah sang gadis.

Dia benar-benar merutuki hari ini.

"Gadis pengganggu, " katanya dengan tatapan yang menusuk.

"Namaku Aira! Bukan gadis pengganggu! Wah kenapa aku harus bertemu denganmu lagi."

Farraz menulikan pendengarannya. Ia malah melirik motornya yang masih terbaring di dekat tong-tong itu. Baru saja ia hendak melangkah, nyeri kakinya semakin bertambah. Sepertinya sulit untuk berjalan jika menggerakkannya saja ia sangat kesulitan. Lagi, ia meringis pelan karena kesakitan.

"Kepala batu. Sini. Di sana kebetulan ada bangku panjang. Ayo duduk dulu."

Farraz tidak menjawab.

"Pelan-pelan saja."

Farraz tidak memberontak saat tangan Aira menyentuh jaket kulitnya. Pelan-pelan, Aira menuntunnya menuju bangku panjang–sebut saja seperti itu–karena bentuknya yang bisa mereka duduki. Hanya saja itu terbuat dari semen.

BECAUSE YOU ARE HIM [Revisi]Where stories live. Discover now