13. Rasa Tanpa Landasan; Di Antara Penasaran, Marah Juga Peduli

71 17 14
                                    

"Lewat jalan yang paling deket ya Ma, biar cepet ketemu papa!"

"Iya sayang."

"Mama, bus itu kenapa?

Silau lampu dari arah depan menusuk ke dalam retina. Penglihatan memburam, ada setitik harapan agar terbebas dari cahaya menyilaukan mata itu. Harusnya, ia tidak kesini, harusnya ia menunggu sedikit lebih lama lagi. Harusnya ia tidak menarik-narik mamanya. Seharusnya, ia tidak egois begini.

Cahaya itu semakin mendekat, hingga akhirnya,

BRAK!

"Hhhh ... hhh ... hhh Ma—ma."

Farraz terbangun dari tidur. Nafasnya naik-turun dengan cepat. Pelipis laki-laki itu di banjiri oleh bulir-bulir keringat. Ia meremas kuat selimut yang menutupi hampir sebagian tubuhnya. Dahi mengerut, menandakan saat ini ia tidak baik-baik  saja. Farraz meraba nakas di samping ranjang, berharap benda yang kini sedang ia cari terdapat di sana. Namun nihil, pil putih itu tidak pada tempatnya.

Dengan nafas yang masih memburu, Farraz bangkit dari ranjang. Mengobrak-abrik segalanya, demi menemukan obat penenang yang ia cari. Mengacak tempat tidur, membuka laci, bahkan ia hampir mengeluarkan semua isi lemari. Rasanya Farraz ingin memaki saat menemukan obat itu di lemari bagian bawah. Entah siapa yang menaruh disitu, hingga ia kesulitan menemukannya.

Farraz menelan tiga pil obat itu, mengabaikan rasa pahit yang ditimbulkan. Persetan dengan omongan Dr. Anna yang mengatakan bahwa ia tidak boleh mengonsumsi secara berlebihan. Itu akan membuatnya selalu terikat dengan obat itu. Toh, Dr. Anna kini sedang koma, tidak akan ada yang memarahinya.

Farraz menundukkan diri pada lantai yang dingin, menyandarkan punggungnya di sisi ranjang. Hal yang sering ia lakukan akhir-akhir ini semenjak mimpi itu kembali lagi ke kehidupannya. Serpihan kenangan yang menyesakkan hati Farraz, membuat ia sulit untuk hidup dengan tenang. Kata mereka, trauma itu bisa sembuh. Namun bertahun-tahun telah berlalu, kenangan itu masih membuatnya takut untuk melangkah. Hampir separuh hidupnya kini di hinggapi dengan penyesalan tiada akhir.

Laki-laki itu menenggelamkan kepala di antara dua lututnya. Memejamkan mata sekuat mungkin, berharap rasa sakit ini cepat pulih. Lagi-lagi ia seperti ini.

"Maaf."

"Mama, maafin Farraz."

"Mama, kalau aja Farraz ngga buru-buru, mungkin Mama masih disini."

"Mama maafin Farr—hiks."

"M-mama m-arah s-sama Farraz?"

Farraz menarik  rambut, frustasi.

"Mama, Farraz cape."

Farraz semakin menundukkan kepala. Kepalanya nyaris menyentuh lantai. Dua tangannya kini memeluk lutut. Pikiran semakin kacau, penglihatannya tiba-tiba memburam seakan kesadarannya akan menghilang.

Kwek...kweek...kweeek!

Kwek... Kweek...Kweek!

Semakin Farraz mengabaikan suara ringtone ponsel itu, semakin suara bebek memenuhi gendang telinganya. Suara bebek itu semakin menjadi-jadi, seakan tidak membiarkan Farraz untuk menutup dua mata. Suara bebek itu, berhasil membuat kesadaran Farraz yang awalnya hampir hilang kini kembali lagi. Ia seakan tertarik kembali ke dunianya.

Kweek...kweek...kweek!

Kweek...kweek...kweek!

Suara bebek itu masih tidak ingin berhenti, entah dari hasutan mana dapat menginterupsi tangan Farraz untuk meraih benda persegi panjang yang menghasilkan suara itu. Masih dengan kepala yang sakit dan juga keringat yang masih membanjiri pelipisnya, Farraz mengangkat ponsel yang bukan miliknya. Nafas yang masih naik turun, ia kontrol agar tidak membuat keributan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BECAUSE YOU ARE HIM [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang