12. Wajah Mereka Mirip

43 16 1
                                    

Daffin tersenyum saat Aira melambaikan tangannya dari daun pintu rumahnya. Ia menunggu sampai gadis itu benar-benar lenyap dari pintu. Daffin memasukkan kedua tangannya ke dalam sakunya, ia menatap sepatunya sejenak kemudian kembali menatap perkarangan rumah Aira. Aira sudah masuk ke dalam rumahnya beberapa detik yang lalu, kini hanya dia yang berdiri termangu menatap kosong ke depan.

Sementara itu, di balik pintu yang tertutup, Aira berdiri menatap tangannya. Ia mengintip ke arah luar rumah melalui jendela yang berada di sampingnya berniat mencari keberadaan laki-laki yang baru saja menemaninya pulang. Laki-laki itu masih berdiri di situ, namun berselang beberapa detik, ia meninggalkan rumah Aira.

Setelah di rasa Daffin benar-benar pergi, Aira memutuskan untuk masuk ke kamar dekat ruangan pintu. Ia berniat memeriksa keadaan ayahnya. Pintu kamar itu tertutup rapat. Aira mengetuk pelan namun tidak ada jawaban dari dalam. Khawatir, Aira membuka pintu itu, tidak ada tanda-tanda keberadaan ayah di dalam sana. Aira kembali menutup pintu, dan memutuskan untuk memeriksa kamar kedua adiknya, Kian dan Biru.

Nihil, kamar adik-adiknya juga kosong. Hal yang selanjutnya terlintas di dalam benaknya adalah halaman belakang.

"KAK AILAAAA UWAAA, ABANG
JAHAT. LEDEKIN BILUUU LAGIII."

Aira baru saja tiba di halaman belakang dan langsung di suguhkan oleh Biru yang berlari kencang ke arahnya. Sembari berlari, gadis kecil berumur sebelas tahun itu mengusap ingus yang keluar dari hidungnya dengan punggung tangan kanannya.

Biru bersembunyi di belakang Aira, memeluknya dari belakang.

"Jangan bilangin kalau Bilu sembunyi di sini." Aira mendengar bisikan dari belakangnya. Ia terkekeh kecil.

"Kak!" Tidak lama, muncul sesosok laki-laki dari balik jajaran tanaman hias.  Laki-laki itu berjalan ke arah Aira, tidak lupa dengan sekop kecil di tangannya.

"Kali ini, Biru kenapa lagi? Kamu ejek lagi?" tanya Aira saat laki-laki itu sudah berada di hadapannya. Pasalnya, adik satunya ini sering kali mengganggu Biru dengan menirukan cara Biru berbicara.

Biru, adik bungsunya itu sedikit istimewa dari yang lain. Usianya sudah menginjak sebelas tahun, namun ia masih belum fasih berbicara. Lebih tepatnya, adiknya itu tidak bisa mengatakan huruf 'R' dengan jelas. Bisa dibilang Biru itu cadel.

"Ah engga kok! Aku cuma ngomong gini,  Bilu-Bilu mau pulu-pulu. Gitu! Eh anaknya ngambek."

"Sama aja Kian!"

"Hehe."

"Kamu udah gede, masih aja usilin adiknya."

"Yaa abisnya gemesin sih."

Aira merotasikan bola matanya, sangat jengah dengan kelakuan adik pertamanya itu. Kian, nama adik laki-lakinya. Sudah duduk di kelas sebelas SMA, namun bagi Aira, laki-laki pecinta tanaman itu masih seperti anak kecil yang akan menangis jika tidak di belikan mainan baru. Kian mempunyai hobi yang sedikit berbeda dengan laki-laki lainnya. Adiknya itu pecinta tanaman akut. Ia gemar menanam tanaman, entah itu tanaman obat, maupun tanaman hias. Karena hobinya itu, ayah mengizinkan Kian untuk menyulap halaman belakang rumah mereka menjadi tempat pembudidayaan tanaman milik Kian. Kian sering menghabiskan waktunya di halaman rumah belakang ini. Baginya, tanaman seperti pacarnya. Ia akan sangat bahagia dan nyaman jika sudah bertemu dengan tanaman-tanaman miliknya.

Dan satu lagi, hobinya itu juga menjadi lahan penghasilan bagi Kian. Ia acap kali menerima pesanan tanaman hias maupun tanaman obat. Sebagian penghasilan yang di dapat akan ia pakai untuk dirinya sendiri, dan sebagian lagi akan ia simpan di dalam kas rumah mereka.

"Ayah dimana dek?"

"Di sana." Kian mengarahkan pandangannya menuju halaman belakang bagian kanan rumah Aira.

BECAUSE YOU ARE HIM [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang