09. Di Kantin Yang Ramai

86 23 10
                                    

"Karena kondisi bapak Bilal sudah stabil, maka nanti malam, anda sudah bisa pulang."

Bilal–ayah Aira– tersenyum. "Terima kasih, Dok."

"Kalau begitu, saya pamit dulu."

Sepeninggal dokter, Aira dan Bilal saling tatap lantas kemudian tersenyum cerah. Terlebih-lebih Aira, gadis itu sudah sangat senang sekali mendengar kabar baik ini.

"Ayah rindu rumah tidak?"

"Kamu tanya, seakan-akan kita sudah pergi satu minggu saja. Baru juga empat hari," kata ayahnya menghentikan senyuman kebahagiaan Aira.

"Pokoknya senang. Wlee."

Bilal menggeleng aneh melihat kelakuan anak sulungnya. "Sudah telepon Kian dan Biru?"

Aira mengangguk. "Sebentar lagi juga mereka datang."

"Mari kita hitung."

"Satu."

"Dua."

"Tiga."

"Em—"

Suara pintu terbuka terdengar. Muncul dua orang. Satu memakai seragam SMA dan satunya memakai seragam SD.

"Kenapa kalian lama sekali?" Belum juga mengucap salam, Aira sudah menginterogasi kedua adiknya.

"Ini lantai lima, Kak. Kami beldua halus menggunakan tangga." Bukan Kian, melainkan Biru yang menjawab.

"Kenapa engga pakai lift?"

"Sedang ada perbaikan sementara." Kini, beralih Kian yang menjawab. Laki-laki yang masih memakai seragam sekolah itu pun lantas menjatuhkan diri pada sofa. Juga diikuti oleh sang adik. Keduanya saling menyandarkan. Terlalu lelah, katanya.

"Sudah makan kalian?" Ayah bertanya. Tidak tega melihat wajah dua anaknya yang tampak kelelahan usai pulang dari sekolah.

Keduanya mengangguk. "Ayah?"

Bilal mengangguk. Kemudian atensinya beralih ke arah Aira. Terlihat anak sulungnya menatap malas kedua adiknya.

"Sudah kakak duga."

Aira melenggang dari kursi di samping ranjang ayahnya. Berjalan ke arah pintu.

"Kakak ke kantin rumah sakit. Lapar karena menunggu kalian pulang."

Lalu setelah itu pintu terbuka dan kemudian tertutup kembali setelah Aira keluar. Meninggalkan jejak raut penuh tanya di wajah Kian dan Biru.

"Siapa yang menyuruh kakak menunggu kita pulang hanya untuk makan?" tanya Kian.

Baik ayah maupun Biru sama-sama menggeleng. Kemudian tawa mereka meledak. Menertawakan keanehan dari sang kakak.

๑๑๑๑

Berjalan melewati lorong dan tangga darurat yang sepi. Tak ada suara yang terdengar selain langkah kakinya yang pelan. Suasana sanga sepi, hanya dengan itu Aira mempercepat langkahnya. Dibarengi dengan pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba menyelimuti.

BECAUSE YOU ARE HIM [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang