Digigit Monyet

1.6K 115 4
                                    

Tak terasa 5 hari Dika dan kedua temannya itu menghuni rumah itu, hari-hari mereka diisi dengan kegiatan yang menyenangkan, membantu mengurus sawah, memancing belut, atau ikut membantu mengarit rumput makanan ternak milik Budi adalah pengalaman baru bagi mereka. Selama 5 hari itu pula mereka menyaksikan betapa kharismatiknya seorang Budi di mata penduduk kampung. Dari cerita yang mereka dengar dari penduduk Budi punya andil besar dalam pendirian koperasi dan perpustakaan desa bahkan awal-awal kedatangannya banyak anak-anak yang minta diajarin les bahasa Inggris dan komputer. Semua itu menambah decak kagum Dika padanya, benih cinta yang disimpannya sejak bangku SMP kembali merebak merona.

"Bud, tak salah kalau dulu aku hampir bunuh diri karenamu" ucap Dika, ketika menemani Budi memberikan les komputer anak-anak kampung.
***

Esoknya Dika, Arif dan Aris menuntaskan tujuan utamanya ke Desa Mekar Sari, mengunjungi air terjun yang terdapat di hulu sungai. Sayang Budi tidak bisa ikut menemani, karena diminta menemani utusan Dinas Pertanian kabupaten memberikan penyuluhan.
***
Pukul 4 sore, Budi kembali dari penyuluhan. Dihempaskannya pantatnya diatas kursi rotan. Bik Inah masih belum masuk, agaknya maman perlu perawatan yang cukup lama di rumah sakit.

Setelah dirasa lelahnya berkurang Budi cepat bangkit menuju dapur ingin membuat teh. Saat itulah terdengar suara hiruk pikuk di depan rumahnya.

Budi cepat berlari menuju teras, dan kejutnya bukan seolah-olah, dilihatnya Aris dan Arif memapah Dika yang berlumur darah, kemeja kotak-kotaknya robek.

"Dika! Kau kenapa?" Budi cepat menghampiri Dika bahkan merebut pemuda itu dari papahan si kembar, digendongnya Dika masuk ke rumah langsung menuju kamar. Aris dan Arif cepat mengikuti.

"Dia diserang monyet besar tadi" ucap Arif.

Budi mengerut heran, dipandangnya Dika dengan tatapan cemas. Dika cuma cengengesan.

"Aku tak tau kalau akan begini, aku melihat anak monyet yang lucu sekali di jalan air terjun, ku pikir dia terpisah dari induknya. Baru saja anak monyet itu ku pangku, datanglah induknya melompat dari pohon langsung menyerangku" Dika menutup penjelasannya dengan sedikit meringis menahan perih.

"Kalian jaga dia! Aku mau panggil mantri di puskesmas, bahaya kalau gak cepat ditangani, bisa-bisa tetanus bahkan rabies"
Aris dan Arif mengangguk. Budi cepat menyambar kunci motornya dari atas meja dan langsung meninggalkan mereka. Dika memandangi kepergian sahabatnya itu dengan pandangan haru.

"Bud, aku bahagia kau perhatikan seperti tadi. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengobatiku"
Dika melirih di dalam sanubari.
***

Berita kalau Dika di keroyok monyet tersebar cepat, banyak pemuda kampung yang menjenguknya setelah mantri pulang.
Luka cakar yang dalam di lengan atas kanannya harus dijahit. Beberapa bagian tubuhnya juga banyak terdapat luka cakar, termasuk pipi kanannya, untung saja cuma tergores, kalau tidak mungkin wajahnya akan meninggalkan cacat.

"Kau konyol sekali!" Ucap Budi sambil meminumkan air kelapa muda ke mulut Dika.

"Lucu ya? Seorang pengelana sepertiku bisa-bisanya kena cokot monyet" Dika mentertawai keapesannya itu.

"Makanya kalau kencing jangan sembarangan! Siapa tahu monyet itu penunggu air terjun" celoteh Aris.

"Kapan aku kencing sembarangan disana?"

"Eh apa kau pikir aku tidak nampak, kau kencing dibawah pohon manggis besar. Siapa tahu itu istana hantu monyetnya dan roh monyet itu sedang kawin. Dan kau seenaknya saja menyemburkan kencing disana" cerocos Aris lagi.

Mau tak mau celotehan Aris itu membuat yang lain ngakak.

"Heh bujang, sejak kapan hantu bisa kawin?" Ucap Arif geli.

"Btw, bahas-bahas kencing, aku jadi mau kencing beneran" keluh Dika.
"Di sumur saja! Biar kutemani, tunggu sebentar aku ambil celana gantimu di kamar, celanamu itu kotor dan penuh darah" Budi bergegas menuju kamar tamu cepat sekali dia sudah kembali, memapah Dika menuju sumur.

Setelah keduanya pergi. Aris menyikut perut Arif.
"Mereka cocok ya!" ucapnya pada kakak kembarnya. Arif mengerutkan dahinya
"Cocok?" tanyanya bingung.

"Mereka akan jadi couple bromance impianku" ucap Aris.

Arif cepat menjitak kepala adiknya.
"Dasar, kebanyakan nonton series Thailand lu! Awas aja kalau kamu yang gay, aku tak sudi punya kembaran hompimpa" Arif mengomel dan keluar dari kamar itu.

Sebenarnya dia bukanlah homophobia namun memang dia tak mau adiknya menjadi gay, bukan karena jijik namun lebih karena takut jika adiknya mengalami kesulitan hidul yang kerap dirasakan kaum cinta sejenis.
***

Di sumur mandi, Budi membantu Dika melepaskan celananya.

"Sebaiknya jangan mandi dulu, biar ku basuh kain basah saja" Cekatan sekali Dika membasahi handuk kecil dengan air segar bercampur sabun antiseptik lalu kain itu diusapkan ke punggung Dika yang kokoh. Ke leher, dada, perut, kaki, paha dan gerakan itu terhenti.
Dika bisa melihat tangan Budi bergetar tepat di depan kelaminnya yang masih tertutup celana dalam.

"Kenapa?" tanya Dika. Budi hanya diam membisu. Dika entah apa tiba-tiba berbuat nekat, diturunkannya celana dalam itu dengan tangan kiri, lalu diraihnya tangan kanan Budi yang memegang handuk basah, dibimbingnya tangan itu mengusapkan air sabun itu di area pinggul dan anggota terlarangnya. Ada nikmat yang mengalir di sana.
Budi rasakan wajahnya memanas. Sesuatu yang dulu dikuburnya  sejak tamat SMP kini berdetak memberontak ingin bebas. Namun,

"Cukup Dika!" Budi menghentikan gerakannya itu. Keduanya diam membisu, hanya suara rumpun bambu cina ditiup angin yang terdengar.
Suasana hening itu akhirnya pecah ketika terdengar suara lirih keluar dari bibir Budi.
"Dik, berhentilah mempermainkanku! Berhentilah untuk memberi harapan palsu! Aku tak mau kau hancurkan untuk kedua kali seperti waktu SMP itu! Sakit, Dika! Sakit sekali" Lalu Budi berlari meninggalkan sumur itu.

Dika tergagu, dia baru sadar ketika Budi telah jauh meninggalkannya.

"Bud, tidak bisakah kau merasakan bahwa kali ini aku bersungguh-sungguh padamu?"
Kata-kata itu terlambat keluar dari mulutnya karena Budi sudah tidak ada lagi ditempat itu.
***

Cintaku Jauh Di Kampung (Selesai)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt