24 : Teater

85 10 3
                                    

Percuma, dia akan tetap tidak peduli,
mau sekeras apapun kamu berusaha,
yang ada kamu rapuh oleh harapan
yang kamu langitkan sendiri.

- HALU -

           Aku mengikuti langkah Albi dari belakang. Menatap mereka yang sedang berjalan beriringan. Aku menghela nafas beberapa kali, ingin segera dihilangkan dari suasana seperti ini.

Aku menatap langit yang masih menurunkan rintiknya. Berusaha untuk tidak peduli dengan pasangan di depanku yang sedang saling menggenggam tangan. Aku ingin marah, tapi tidak punya hak tentang itu. Tidak terima, tapi tidak memiliki alasan kuat untuk itu.

Aku masih menatap kedua punggung itu sambil tersemyum miris. Miris karena berada di posisi seperti ini. Sampai tersentak saat Albi menoleh sambil menatapku, aku mengerjap, sebelum menundukkan pandangan.

"Lurus aja, nanti pertigaan belok kanan." ucapku tanpa menatapnya. Aku meremas tanganku dengan perasaan yang sudah tak terbentuk, ingin menangis, namun ini juga bukan kesalahan Albi. Ini hanya tentang aku yang memiliki kadar berharap terlalu tinggi. Atau, Albi tidak membalas chat itu karena dia sudah ada yang baru?

Durr!

Aku tersentak, plastik yang berisikan bakso di tanganku ikut terjatuh. Tanganku ikut bergetar saat mendengar dentuman dari langit. Aku mengambil nafas saat merasa sesak mendengarnya, aku sangat takut dengan petir.

Tanganku terus bergetar, aku tetap berdiri sambil menatap punggung Albi dan perempuannya yang semakin menjauh. Jantungku berdetak lebih cepat, aku merasakan takut dan gelisah dalam waktu yang sama.

Aku menutup mata, meremas tanganku agar bisa melawan rasa takut itu. Sampai tersentak dengan usapan lembut di bahuku.

Dengan bibir bergetar, aku membuka mata. Menatap perempuan yang bersama Albi sudah berada di sampingku. Sedangkan Albi sudah berada jauh di depan sana tanpa melepaskan pandangannya dariku.

"Kamu gak papa?" tubuhku gemetar, aku menatap perempuan tadi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Kita jalan lagi ya?" ucapnya sambil memapah tubuhku yang sudah lemas.  Tanganku semakin bergetar saat mendengar kembali petir dari langit.

"Bunda.... " lirihku sambil memejamkan mata.

"Kenapa?" aku membukakan mata sambil menatap Albi yang sekarang sudah berada di dekat kami.

"Gak tahu," balas perempuan itu sambil menatapku. Aku menelan salvia berusaha agar terlihat biasa di hadapan Albi. Namun nihil, aku tidak bisa mengendalikan rasa takut itu.

"Masih jauh?" tanya Albi membuat aku meliriknya sambil menggeleng kecil. Lalu tanganku menunjuk Bang Iqbal yang sudah berdiri di depan pagar rumah dengan tangan bergetar.

"Keyna, gak papa?" aku langsung memeluk tubuh Bang Iqbal dengan tubuh yang bergetar.

"Takut.... " lirihku membuat ia mengeratkan pelukannya.

"Gak ada apa-apa, tenang... ada Abang."

"Petir.... Abang.... takut...." lirihku sambil mencengkram kuat jaket yang sedang ia kenakan. Ia menghela nafas sambil melepas pelukan itu meski aku berusaha keras agar tidak di lepaskan.

Halu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang