32 : Karena harus lupa

79 13 10
                                    

Bismillah.
sesuai janji, aku bakal up setelah pembacanya 1k.
maa syaa allah, makasih yg mau berkenan baca♥
_____________

Dan pada akhirnya,
aku harus memilih untuk lupa.

- HALU -

        Aku terduduk sambil memangku sebuah novel yang berjudul Shaf, karya Kak Ima Madani. Aku selalu di buat jatuh cinta dengan semua karyanya. Mungkin karena dia menulisnya dengan perasaan dan riset yang sempurna.

Apalagi dia selalu menyelipkan nilai-nilai Islami, bahkan tak jarang sering kali menampar diri dengan dialog, yang anehnya tidak pernah bisa membuat pembaca merasa bosan. Seperti memiliki khas tersendiri.

Aku menghela nafas lalu mengalihkan pandangan pada lapangan futsal, kali ini aku sedang terduduk di tribun lapangan. Bersama dengan Dinda. Karena Amel sedang sibuk latihan menari untuk tampilan perpisahan angkatan kami sekitar tiga minggu lagi.

"Na? Kamu sama Albi di Jogja itu kenapa?" aku menoleh menatap Dinda, sepertinya kejadian di kantin waktu itu, kembali ia tangkap jelas saat aku mengatakan kota Jogja.

"Nggak ada apa-apa,"

"Gak mungkin Albi bisa semarah itu. Lagian di posternya itu kamu dan Albikan? Waktu di Jogja?" aku menghela nafas, percuma aku menyembunyikan jika kenyataannya memang sudah tersebar.

"Albi berantem sama Bayu," ucapku pelan.

"Hah?! Kok bisa?!" aku mengulum bibir sebelum menatap Dinda.

"Karena aku. Albi dan Bayu berantem karena aku Din-"

"Bukan!" aku tersentak dengan suara seseorang yang masuk ke dalam percakapan kami.

"Raja?"

"Hai?" sapanya sambil terduduk di hadapanku dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Matanya menelisik seperti mencari seseorang.

"Amel?" tabakku membuat ia menggaruk kepalanya salah tingkah. Aku terkekeh, dulu Amel sangat mengagumi dia, dan sekarang sepertinya perasaan Amel berbalas.

"Dimana?"

"Latihan tari," jawab Dinda membuat ia mengangguk beberapa kali. Lalu matanya kembali menatap ke arahku.

"Soal di Jogja, itu bukan salah lo Na...." balas Raja kembali membuka topik tentang itu. Aku menghela nafas, menutup buku di pangkuanku dan mulai kembali menatap langit.

"Semua itu gak bakal terjadi kalo aku gak suka Albi." balasku. Ia mendecak kecil.

"Lagian, darimana kamu tahu tentang Jogja saat itu Ja?" lanjutku.

"Fadli marahin Albi di depan gue, jadi gue tahu kejadian itu." aku mengangguk, merasa alasannya cukup bisa aku terima.

"Na?" aku menoleh tanpa mempertemukan mata kami.

"Lo secinta itu ya sama Albi?" aku tertegun dengan kalimat pertanyaan itu. Terdengar simpel namun terasa sangat berat untuk aku balas.

"Kenapa lo gak berontak saat dia ngatain lo si? Di Jogja ataupun di kantin waktu itu, lo malah milih diem." aku tersenyum kecil mendengarnya.

"Mungkin karena dia Albi." balasku membuat ia kembali menatapku dengan kedua alis yang terangkat.

"Aku juga gak tahu mau sejauh ini Ja...  tentang perasaanku pada Albi, itu murni tanpa perencanaan." tambahku.

"Albi marah di kantin karena dia syok liat foto kalian terpampang di mading." timpalnya kembali membuka obrolan baru.

"Turnamen kali ini sangat berarti bagi Albi Na, udah dua tahun dia nunggu momen ini. Dia itu terlalu obsesi dengan bola, dengan adanya poster itu, dia bisa tersudutkan dalam timnya."

Halu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang