34. NamJin: Siap

426 48 24
                                    

Sejak kecil, Kim Seokjin selalu dijejali dan ditekankan tentang pentingnya pendidikan oleh kedua orang tuanya. Tampak seperti hal yang baik, bukan? Namun, tidak bagi Seokjin karena hal tersebut menyiksa. Ia tak diizinkan berada di luar bersama teman-temannya selain untuk acara sekolah yang dapat dijadikan orang tuanya sebagai ajang memamerkan putra mereka.

Seokjin pintar. Jangan salah. Tetapi, untuk berada di titik yang sekarang, ia mengorbankan banyak hal. Pertemanan, masa remaja, bahkan jam tidur. Orang tuanya mendaftarkan dirinya di tempat les piano, bahasa asing, dan juga tempat khusus untuk mempersiapkan diri memasuki perguruan tinggi. Semuanya dilakukan orang tuanya sejak Seokjin duduk di Sekolah Dasar.

Meskipun begitu, Seokjin tak pernah sekalipun mendebat orang tuanya. Ia mengerti betul bahwa keduanya lahir dan tumbuh di keluarga yang serba kekurangan hingga pendidikan pun menjadi barang mewah bagi orang tuanya ketika kecil. Mereka bekerja keras untuk dapat meraih pendidikan hingga ibunya mendapat gelar S1 dan ayahnya menjadi lulusan S3.

Satu hal yang menjadi penyemangat Seokjin menjalani hari-harinya selama sekian tahun adalah kata-kata orang tuanya.

"Saat kau berhasil menyelesaikan S1 dan mendapat cumlaude, kau boleh melakukan apapun yang kau mau setelahnya."

Maka, saat namanya dipanggil dan tangannya menerima ijazah S1, senyum Seokjin tersungging lebar di wajahnya. Hari ini adalah hari pertama kehidupannya dimulai. Dan, hal pertama yang akan dilakukannya adalah keluar dari rumah orang tuanya sebab ia telah siap menjadi seorang guru musik.

---

"Oh fuck!" ujar seorang pelajar kala americano yang ia pegang tumpah di seragam sekolah yang ia kenakan. Suaranya yang tak dapat dianggap pelan membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya dan menggeleng. Walaupun banyak orang tidak berbicara Bahasa Inggris dengan baik, mereka sangat akrab dengan kata berawalan F yang diucapkan pelajar tersebut. 

"Ah shit! This is brand new! (Sial! Ini masih baru!)" Pelajar tersebut kembali berujar, masih dengan suara yang dapat didengar jelas.

"Hei, apa kau tidak diajari sopan santun? Kau sudah mengumpat dua kali dalam waktu kurang dari semenit."

Pelajar tersebut menengok dan melihat seseorang yang berdiri di sampingnya dengan tangan di pinggang.

"Dan bukankah ini jam sekolah? Pasti kau membolos," tutur orang tersebut.

"Dude, no offense but mind your own bussines (Bung, jangan tersinggung tapi ini bukan urusanmu)." Sang Pelajar berkata santai sebelum berlalu begitu saja. Ia tak mempedulikan orang yang baru saja menegurnya ataupun bisikan-bisikan mencemooh di kanan kirinya.

"These nosy fuckers, they think they've the right to tell me what to do (Orang-orang sialan, mereka kira mereka berhak memberitahu yang harus kulakukan)." 

Ia menyalakan rokok lalu dengan santai berjalan menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi jalan. Ia menghisap rokoknya hingga habis dan membuangnya ke trotoar lalu menginjaknya agar bara apinya mati. Ia membuka pintu pengemudi dan bersiap melajukan kendaraan saat kaca mobilnya diketuk.

"Now what? (Apa lagi sekarang?)" 

Ia menurunkan kaca mobil dan menatap datar dari balik kacamata hitam. 

"Can I help you? (Bisa kubantu?)" Ia bertanya dengan nada sarkastis pada orang yang belum lama lalu menegurnya.

"I just want to give you this (Aku cuma mau kasih ini)." Lelaki tersebut melemparkan puntung rokok yang tadi dibuangnya ke arah jok kulit mahal di samping pengemudi. "That's a nice present for an asshole like you! (Hadiah berharga buat bajingan macam kamu!)"

Monkey BusinessWhere stories live. Discover now