(3)🥀HUKUMAN🥀

1.7K 165 35
                                    

"Pernah menangis? bagaimana rasanya? melegakan atau justru menyakitkan? seberapa banyak beban yang kamu tanggung? begitu banyak kah?"

~RAPUH🥀~

Lyvia datang lebih awal ke sekolahan, untuk menghindari hinaan dan ejekan dari mereka. Lyvia memang sudah menutup telinganya rapat-rapat, tapi mau bagaimana pun dia tetap mendengar. Kadang hatinya terluka mendengarnya, tetapi mau bagaimana lagi? semua sudah terjadi.

Lyvia memasang earphone ke kedua telinganya. Ia sangat suka lagu tentang kesedihan, mungkin karena dia menyedihkan.

Ia menghela nafas panjang matanya tidak sengaja melihat kupu-kupu yang terbang di jendela kaca itu. Lyvia memandang iri pada kupu-kupu itu.

"Kamu beruntung bisa terbang bebas tanpa pehalang, sedangkan aku terlalu banyak penghalang dan sulit untuk ku bebas. Aku selalu bermimpi bisa melihat dunia dengan bebasnya, itu hanya mimpi dan mimpi lebih indah dari kenyataan." Lyvia memegang jendela kaca itu membuat kupu-kupu itu terbang bebas. "Tapi, aku ingin menjadi sebuah bunga yang bermekaran indah agar semuanya menghampiri ku, agar semua melihatku dan menggagumiku."

Lyvia melirik kepada mereka yang sudah datang dengan candaan gurau. Mungkin hanya dirinya saja yang terlalu menyedihkan, dirinya ada tapi tidak nyata dan hadirnya ada tapi tidak dianggap.

Emilia tersenyum sinis padanya lalu menghampiri dirinya seraya bersedekap.

"Kasian enggak punya temen. Emang sih, cewek bisu kaya lo enggak pantes punya temen, sampah!" ejeknya lalu kembali duduk di bangkunya.

Lyvia menutup matanya rapat-rapat. Ia memegang perutnya sakit tadi pagi dirinya tidak makan, semenjak Mama dan Papanya cerai. Lyvia terlalu sulit untuk makan memang dirinya lapar, tapi rasanya tidak ingin makan.

Seorang guru wanita menyapa anak muridnya seperti biasa. Guru itu memang selalu ramah pada siapapun. Guru itu kini berdiri di hadapan anak muridnya.

"Ibu senang sekali melihat hasil kerja kalian. Jika dilihat-lihat nilai di kertas ulangan kalian sudah meningkat! Ibu bangga sekali!" seru Guru itu bertepuk tangan. "Terutama pada Lyvia nilainya bagus-bagus semua. Ayok beri selamat!"

Mereka pun menatap sinis dan mengucap kata selamat dengan tidak ikhlas. Lyvia kembali menghela nafas tidak terlalu mempedulikan nya.

"Oke, Ibu bakal kasih soal-soalnya biar kalian bisa lihat nilai kalian!" Guru itu pun mulai membacakan nama-nama anak muridnya sesuai absen.

"Lyvia Gemerlap," panggil Guru itu membuat Lyvia bangun dan Guru itu memberikan beberapa lembar soal padanya.

"Semua nilai kamu seratus. Hanya saja cuman yang fisika aja, mungkin kamu kurang teliti. Tapi, nilai kamu bagus yaitu 95," ujar Guru itu menepuk bahunya. "Ibu bangga sama kamu," lanjutnya.

Lyvia membalikkan tubuhnya. Namun, saat akan duduk dirinya terselandu kaki seseorang dan itu Emilia.

"Ups enggak sengaja," ucapnya mengejek seraya menutup mulutnya.

Lyvia bangun lalu menuju bangkunya. Kini ia sudah tau apa yang akan terjadi padanya di rumah, dia sudah menerima resikonya. Lyvia menatap nilai 95 itu lalu meremasnya kuat dengan air mata tertahan.

"Hari ini pulang lebih cepat karena guru akan ada rapat. Untuk anak-anak silahkan berdoa bersama," ucap Guru itu membuat semuanya bersorak gembira berbeda dengan Lyvia yang sudah cemas juga detakan jantungnya berpacu dengan cepat.

Kami pun mulai membaca doa sesuai kepercayaan masing-masing. Seperti biasa setelah semuanya pergi Lyvia akhirnya keluar dari kelas tersebut. Iya ingin dunia ini berhenti sesaat, bukan apa-apa ia terlalu takut berhadapan dengan amarah Papanya nanti.

Pak Hendri tersenyum manis lalu membukakan pintu mobil. Lyvia masuk ke dalam mobil itu di susul Pak Hendri.

Selama perjalanan Lyvia tanpa sadar mencakar pergelangan tangan nya hingga darah-darah itu berceceran mengenai roknya.

Sampai sudah di rumah besar itu. Lyvia turun dengan kaki gemetar, ia ingin lari saja dari sini Lyvia menghela nafas berulang kali.

Dirinya mematung di ambang pintu ketika Papanya menghampirinya dan menggambil kertas soal ulangan tersebut sambil menggangguk.

"Nilai kamu bagus, kok cuman segini?" tanya Vito. Vito melihat satu kertas di belakang tubuh Lyvia, ia pun menggambil kertas dari tangan putrinya.

Tangan Vito terkepal saat tau nilai itu adalah 95. Vito menatap marah pada Lyvia yang seperti akan memakan hidup-hidup putrinya itu.

"Ini apa Lyvia! kenapa bisa dapat nilai 95?!" bentak Vito. "Gara-gara kamu buat cerita aneh itu makanya nilai kamu turun kaya gini!"

"L-lyvia kurang teliti, Pa." Lyvia menunduk tidak berani menatap mata elang milik Papanya.

Plak!

Tamparan itu mengenai pipi kirinya. Rasa sakit dan perih menjalar ke pipi tersebut.

"Kurang teliti! jadi selama ini kamu bimbel itu dan buku-buku itu apa?!" Vito mencengkram lengan anaknya itu. "Apa jangan-jangan kamu enggak belajar?!"

"L-lyvia b-belajar Pa," gugupnya.

"BOHONG!" Vito melempar kertas-kertas itu dan menarik kasar tangan Lyvia hingga tiba di kolom renang. Vito pun mendorong putrinya ke dalam kolam tanpa rasa kasian sedikit pun.

"Tetap disitu jangan keluar sampai pagi!!" Vito melirik Bibi Minah. "Dan jangan ada yang membantunya!"

Lyvia menggigit bibir bawahnya sambil menggigil. Air kolam itu sebatas lehernya tentu saja mungkin dia bakal mati kedinginan.

Di atas balkon Guntur tidak bisa melakukan apapun. Dirinya hanya bisa menatap dan berdoa pada Tuhan agar gadis itu baik-baik saja, jika saja dia tidak lumpuh seperti ini pasti tanpa aba-aba ia juga akan membantu gadis itu.

"Kamu gadis kuat. Aku percaya itu," lirih Guntur dengan mata berkaca-kaca.

~RAPUH~🥀

Matahari pun akhirnya muncul dengan sinar yang membuat siapa saja ceria melihatnya. Tetapi, dengan Lyvia tubuhnya memucat juga wajahnya yang tidak bisa dikatakan dengan kata-kata.

Bibi Minah berlari membantu tubuh Lyvia yang sudah kaku itu. Bibi Minah menyampirkan handuk di tubuh Lyvia seraya menangis.

"Non. Ya Allah," tangisnya memeluk tubuh Lyvia. Tuhan masih membantu dirinya untuk hidup, padahal Lyvia ingin segera tiada.

"Dingin," lirih Lyvia dengan suara gemetar.

Bibi Minah membantu Lyvia untuk berdiri. Dengan tubuh menggigil Lyvia mendekati Papanya, namun sang Papa hanya bersedekap.

"Sudah tau apa kesalahan kamu? hari ini kamu sekolah jangan sampe ketinggalan pelajaran."

Hayalan Lyvia menguap begitu saja. Lyvia pikir Papanya akan meminta maaf dan merawatnya, tetapi di luar dugaan. Miris sekali!

"Pa. Lyvia kedinginan." bibirnya memucat parah. Vito pun akhirnya menoleh kepada putrinya.

"Mau Papa hukum lagi?" Lyvia terdiam mendengarnya. "Enggak mau kan? sekarang ganti baju dan sekolah."

"Pa. Lyvia sakit," lirih Lyvia memegang tangan sang Papa. Vito pun menghela nafas panjang.

"Oke, hari ini kamu enggak sekolah. Tapi, harus tetap belajar. Mengerti?"

Lyvia terdiam menatap punggung lebar Papanya. Dirinya ingin tertawa memikirkan nya, lucu sekali. Tidak ada rasa pedulikah Papanya kepadanya?

"Apa ada penderitaan lebih dari ini?" air matanya berlomba-lomba untuk keluar.

~RAPUH🥀~

Bantu Share🥀

Maaf jika tidak mendapat feel-nya ini masih pemula♥️

RAPUH (TAMAT)Where stories live. Discover now