🥀BERSIKAP ANEH🥀

1.1K 113 30
                                    

"Beribu duri tertanam di hati, beribu jarum saling menusuk batin. Terdiam menerima kesengsaraan, berdiam diri membuat kehilangan tujuan."__RAPUH🥀


                       ~RAPUH🥀~

Jarum jam terus bergerak, kesunyian kamar berhembuskan angin dari arah jendela menerpa tidur nyenyak Lyvia yang masih bersembunyi di bawah selimut. Lyvia menatap langit yang mendung, sepertinya hari ini akan hujan deras dan angin begitu kencang. Lyvia menyibak selimut dan melangkah kecil ke arah jendela kemudian menutup jendela kaca itu.

Lyvia segera membersihkan dirinya, selesai membersihkan diri ia memanggil ponselnya lalu mengecek pesan orang itu dan ternyata sudah dia hapus dan nomor orang itu tidak ada lagi di ponselnya. Beruntungnya Lyvia ingat tempat pertemuannya.

Lyvia memakai jaket merah karena angin kencang itu bisa membuatnya sakit, tentunya. Tubuhnya ini sangat mudah sakit. Rambut Lyvia dikuncir kuda dengan ponsel yang menyala. Ia menuruni tangga, berharap bisa bertemu Papanya. Ternyata doanya terkabul, Papanya tengah meminum kopi dengan koran di tangan kirinya.

"Pa." Lyvia memeluk Vito erat membuat pria paruh baya itu terkejut. "Maafin Lyvia, Pa. Maaf atas semua kesalahan Lyvia, Lyvia sayang Papa, Lyvia enggak pernah benci Papa."

Lyvia melonggarkan pelukannya. "Aku sayang Papa. Maafin aku," ucap Lyvia lalu berjalan ke arah dapur. Ia menemukan Bibi Minah kemudian memeluk tubuh wanita itu dari belakang.

"Bi."

"Eh non, kenapa?"

"Maafin Lyvia, ya? kalo Lyvia banyak salah maafin Lyvia. Lyvia sayang banget sama Bibi," tutur Lyvia membuat Bibi Minah shock.

"Loh tumben non, ada apaan nih?"

Lyvia tersenyum manis dengan wajah berseri. "Enggak papa, Mau minta maaf aja. Dan mau bilang sayang Bibi aja."

"Bibi juga minta maaf, Bibi sayang non." Bibi Minah memeluknya erat. Seraya mengusap rambut Lyvia lembut.

"Aku pergi dulu," pamit Lyvia. "Jangan kangen aku loh, bahagia selalu, ya, Bi."

"Non mau kemana?" tanya Bibi Minah merasa hal ganjal.

"Ada deh, Bibi enggak perlu tau." Lyvia kemudian berlari keluar dari dalam rumah. Ia memesan taxi segeranya menaiki taxi itu, selama perjalanan Lyvia memainkan jemarinya gugup. 

Setibanya di tempat tujuan. Lyvia memasukan kedua tangannya di dalam saku seraya mendekati jembatan itu. Dengan angin yang terus berhembus menerpa wajahnya, Lyvia melihat sekeliling sambil mencari seseorang. 

Sudah satu jam berlalu, tetapi orang itu tidak kunjung datang. Lyvia duduk di kursi kayu sambil menundukkan kepalanya. Ia menatap rerumputan halus menari-nari dengan hembusan angin. Suara petir mulai menggelegar di langit, tetapi tidak terlihat bahwa hujan akan turun.

"Hai Lyvia, selamat datang di tempat kematian," sapa orang itu memakai jaket hitam dengan tundung yang menutupi wajahnya. Orang itu membawa pisau di tangannya membuat Lyvia beranjak dan memundurkan langkahnya.

"Aku ke sini cuman minta ramuan itu dan aku sangat berterima kasih untuk itu," sahut Lyvia tenang, walau sebenarnya jantungnya berpacu dengan cepat sesekali melirik pisau di tangan orang itu.

"Tenang gue udah kasih ramuannya sama Dokter. Gue baik kan? tetapi orang baik itu cepat mati karena mudah dibodohi dan hatinya begitu perasa."

"Kayaknya udah cukup gue kasih waktu buat lo idup," kekeh orang itu. "Oh, ya, sebelum gue bunuh lo. Gue mau cerita sesuatu nih, mah denger enggak?"

RAPUH (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora