🥀HUKUMAN TAK ADA HENTINYA🥀

956 117 19
                                    

"Bisakah berhenti membuatku tertekan? aku ini manusia juga memiliki perasaan."__Lyvia Gemerlap 🥀

                      
                    ~RAPUH🥀~

Dua minggu telah berlalu. Waktu memang benar-benar sangat cepat, selesai ulangan tentu saja Lyvia duduk di bangku sambil menunggu pembagian lapor.

Orang tua mereka pun hadir bersamaan anak-anaknya, berbeda dengannya yang duduk seorang diri tanpa adanya keluarga. Hah seperti tahun-tahun sebelumnya, iya, Lyvia hanya datang seorang diri itu juga sudah menjadi hal lumrah bagi para Guru.

Jika seorang Guru bertanya, 'mana orang tuamu?' maka Lyvia akan menjawab kalo orang tuanya sibuk. Memang benar bukan?

Tidak butuh waktu lama kehadiran wali kelas sambil membawa lapor anak-anak muridnya pun tersenyum tipis. Guru itu menatap satu-persatu anak muridnya masih belum melunturkan senyumannya.

"Assalamualaikum anak-anak, Bapak dan Ibu sekalian."

"Waalaikumsalam!" sahut semuanya ada yang menjawab salam dengan lengkap ada juga yang tidak.

"Sebelum saya memberikan lapor pada anak-anak Ibu semuanya, tolong harap tenang!" semuanya pun berhenti dan duduk di bangku masing-masing.

"Oke, kalo begitu saya panggilkan siapa saja yang mendapat tiga besar!"

"Silvi Ayunda Sari, selamat kamu dapat rengking pertama!" seru Guru itu tersenyum lebar membuat semuanya berseru pada Silvi mengucapkan selamat.

Sementara itu Lyvia mencengkram pergelangan tangannya sendiri. Rasa takut menguasai dirinya juga pikirannya, astaga apa yang harus dilakukan saat tiba di rumah nanti? tentu saja Papa akan marah besar.

"Rengking kedua diraih oleh Lyvia Gemerlap! selamat nak!" Guru itu menyuruh dirinya untuk maju, sementara teman sekelasnya menatap sinis padanya.

Setibanya di depan Guru itu memberikan lapor padanya lalu kembali memanggil rengking ketiga yang diraih oleh Emilia Safitri. Kala Emilia berdiri di sampingnya bahkan menjauhinya begitu juga dengan Silvi seolah dirinya adalah najis.

Guru itu meminta anak muridnya untuk berfoto lebih dulu. Guru itu berada di tengah-tengah kami, selesai menggambil foto. Lyvia pun segera keluar dari kelas dengan tergesa-gesa.

"Allah tolong aku," lirihnya lalu mendekati Pak Hendri yang tersenyum manis padanya. Lyvia menundukkan kepalanya lalu masuk begitu saja ke dalam mobil kemudian disusul Pak Hendri.

"Gimana non dapet peringkat pertama?" tanya Pak Hendri sambil menoleh padanya. Jantung Lyvia berpacu dengan cepat. Rasa takut, khawatir, ingin menangis tercampur menjadi satu. Kala tidak mendapat sahutan Pak Hendri mulai menyetir mobil.

Setibanya di pekarangan rumah. Lyvia segera turun sambil memeluk lapornya erat, seandainya dunia ini bisa berhenti sesaat saja Lyvia akan sangat berterima kasih. Jantung terus berdetak dengan cepat karena rasa takut.

Lyvia melangkah memasuki rumah itu dan menemukan Papanya yang sedang melihat layar laptopnya. Tungkai kakinya seolah tidak bisa menompang lagi.

Vito mendongak sambil melepaskan kaca mata minusnya lalu ditaruhnya di atas meja. Tatapannya sangat tajam seolah ingin membunuh Lyvia.

"Jadi?" Vito beranjak lalu menggambil lapor itu dari pelukan Lyvia. Bisa dilihat tangannya terkepal sambil menatap nyalang pada Lyvia.

"Apa ini Lyvia! Astaga!" bentak Vito membuat Lyvia tersentak. "ANAK ENGGAK BERGUNA!"

Lyvia memundurkan langkahnya lalu menatap Papanya dengan air mata yang sudah mengalir, padahal tadinya ia sudah berusaha menahan cairan bening itu, tapi sudahlah tetap saja keluar.

RAPUH (TAMAT)Where stories live. Discover now