06. Orang Tua dan Keluarga

207 24 0
                                    

Renjun memasuki pekarangan rumahnya. Sepi. Padahal biasanya ada sang ibu yang menonton TV di ruang tamu. Ia mulai masuk ke dalam rumah, dan tidak ada tanda tanda ibunya disana.

"Ma? Mama?" Panggil Renjun tapi tidak ada jawaban. Ia berjalan menuju ruang tamu, bisa saja ibunya tengah ketiduran disana.

Namun nihil. Yang ada dia malah kaget dengan situasi ruang tamu rumahnya. Berantakan. Robekan kertas ada dimana mana. Ia memungut salah satu robekan itu.

Ia menyesal memungut robekan itu. Ia ingin memutar waktu. Ia ingin bertindak seolah olah ia tidak memungut itu.

Demi Tuhan jantungnya nyaris berhenti berdetak. Ia hampir pingsan.

Salah satu robekan itu bertuliskan,

'Perceraian'

Tanpa basa basi ia langsung meletakkan tasnya secara asal di sofa dan berlari menuju kamar orang tuanya. "Jangan, jangan." Kata yang ia terus rapalkan dalam perjalanannya ke kamar tidur orang tuanya.

Renjun ini positive thinking. Tapi ia tidak bisa.

Kakinya melemas. Dugaannya benar. Dilantai, ada sang ibu yang tengah pingsan, dengan sebuah cutter yang sudah berdarah, dan beberapa pil yang berceceran. Ia langsung menghampiri ibunya dan memeluknya. Sambil menangis. Tangannya meraih handphone sang ibu dan cepat cepat menelfon salah satu kontak disana. Begitu tersambung, isakannya sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Halo ma? Kenapa eh- Juna ini? Bentar bentar, kontaknya mama kok-"

"Bang, hiks mama, yang gue takutin bang, hiks kejadian."

Di seberang sana tidak ada jawaban. Mungkin kaget, mungkin speechless. Hingga beberapa saat,

"Bang, lo masih disana?"

"Lo anter mama dulu ke RS, jangan ngebut, RS sama kaya dulu, gue bakal otw 5 menit lagi. Semangat Ren, lo pasti bisa."

Renjun tahu apa yang ia harus lakukan. Hanya saja ia tidak tahu bisa atau tidak.

"Bang.."

"Hm? Lo pasti bisa, percaya sama gue. Jangan panik, jangan ngebut, tahan air mata lo dulu, nanti, lo bisa nangis di pelukan gue. Masalah papa, gue yang bakal selesaiin, oke?"

Renjun mengangguk walau yang disana tidak tahu. Telefon mati. Renjun mengangkat ibunya dengan semua tenaganya, mendudukkannya di kursi penumpang tak lupa memasang seatbelt. Sebelum itu ia tidak lupa untuk melakukan penanganan pertama.

Kakinya menginjak gas. Air matanya ia tahan mati matian. Ia mencoba mengemudi cepat, ia mencoba tenang. Tidak sampai 15 menit ia sampai, buru buru ia memanggil suster, lalu membantu menidurkan ibunya di brankar.

Ia setia menunggu didepan ruangan. Didalam sana ada beberapa dokter dan suster mencoba menyelamatkan ibunya. Dan ia tidak bisa melakukan apa apa selain berdoa.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar. "Wali pasien Wendi Viona Nuala?" Panggil sang dokter. Renjun bangkit dan buru buru meminta penjelasan. "Saya anaknya dok, ibu saya tidak apa apa, kan?" Sang dokter hanya tersenyum. "Nyonya Nuala masih bisa diselamatkan, tenang terlebih dahulu. Selanjutnya saya akan menjelaskan kondisinya." Renjun sudah siap menerima apa yang akan dijelaskan. Dokter itu menghela nafas sebelum melanjutkan. "Pasien overdosis obat anti depresan, dan dilihat dari riwayat kesehatan, pasien memiliki imun yang cukup rendah. Pula dengan luka di pergelangan yang cukup dalam hingga darah keluar lumayan banyak. Meski sudah diberi penanganan pertama, sampai di ruangan darahnya masih mengucur. Pasien dinyatakan koma, dan untuk kemungkinan sadar kami masih belum bisa menebak, tapi jika dipaksa, mungkin paling lambat 1 bulan, dan paling cepat 1 minggu, ada pertanyaan?" Renjun menggeleng. Ia tidak mampu mencerna apa kata dokter, yang ia tahu ibunya dalam kondisi koma itu saja. "Baiklah, saya permisi." Ujar dokter itu lalu berlalu. 

kita ini apasih ? • 7dream ✓Where stories live. Discover now