Ceritaku.

5 2 0
                                    

Matahari pagi tidak secerah hari kemarin. Benar-benar mendung. Tapi bukan sesuatu yang aneh dan menyebalkan. Mendung tidak menghentikan apapun. Sama seperti mimpi buruk yang sudah terjadi sekarang, tidak akan membuatku berhenti.

Aku Gea Ayu Praha, akan aku ceritakan bagaimana hidupku berjalan kedepan tanpa seorang Mama yang menemaniku.

Aku sudah lulus SMA 1 bulan yang lalu. Tadinya, aku berniat untuk melanjutkan study ku disalah satu Universitas, tapi aku mengurungkan niatku. Beberapa bulan yang lalu, saat semua teman seusiaku sibuk mempersiapkan diri untuk masuk di Perguruan Tinggi impian mereka, Ayah dan Ibu memutuskan berpisah. Keadaan itu seharusnya tidak menggangguku atau menghambat impianku. Tapi aku tidak bohong, aku sedih dan terganggu. Hidup rasanya harus berhenti, tapi kenyataan harus terus dihadapi.

Aku meminta Ayah dan Ibu untuk menunda perpisahan mereka sampai hari kelulusanku. Mereka setuju. Ayah dan Ibu masih tinggal disatu rumah sampai hari kelulusanku. Ibu tidak tidur dengan Ayah dan lebih banyak mengahabiskan malam denganku.

Aku mencoba memahami perpisahaan mereka. Kehancuran yang akan aku hadapi. Mempertanyakan alasannya dan segala hal lain yang mungkin bisa membuat mereka berfikir ulang. Tapi semuanya tidak bisa diselamatkan.

Setelah hari kelulusan, Ibu memutuskan untuk keluar dari rumah. Katanya, Ibu punya satu rumah yang dibelinya tidak jauh dari rumah kami sekarang.  Ayah tidak menahan Ibu, tidak pula memedulikan keadaanku. Ayah menghabiskan banyak waktu diluar saat Ibu masih dirumah ini.

Mereka tidak pernah bertanya kemana aku akan ikut atau dengan siapa aku harus ikut. Mereka hanya memberitahuku bahwa Ayah dan Ibu akan berpisah, tidak ada alasan apapun yang terlontar dari mulut mereka. Mereka egois, pikirku.

Aku sudah lulus SMA, tapi tidak tau akan apa selanjutnya. Ibu keluar dari rumah, dan Ayah banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Tidak ada yang peduli pada keadaanku saat itu. Dan aku menyadari bahwa kami, Ayah, Ibu dan Aku mengalami sakit hati yang sama besar. Ayah dan Ibu mencari kesembuhan sendiri dengan pergi, aku bahkan tidak tau bagaimana cara mengatasi ini.

Perpisahaan Ayah dan Ibu membawa nenek dan kakek datang ke rumah. Menemaniku, menggantikan Ayah dan Ibu. Nenek bilang bahwa perpisahaan Ayah dan Ibu memang harus terjadi. Aku mencoba mengerti. Setiap keadaan yang terjadi pada kami, aku yang selalu dipaksa mengerti. Kali ini, aku lagi-lagi harus mengerti.

Setelah perceraian Ayah dan Ibu, sesekali aku masih bertemu Ibu, jalan-jalan atau makan bersama. Semakin hari Ayah kembali, mungkin sakit hatinya sudah berangsur membaik. Ia kembali menjadi pria hangat yang aku cintai. Kupikir semua baik-baik saja dan tidak apa-apa dengan perpisahaan mereka. Keadaanya tidak semengerikan yang aku bayangkan. Waktu menyembuhkan kami. Ayah dan Ibu berpisah tapi mereka tetap Ayah dan Ibuku.

"G, Ayah harus berangkat. Jangan lupa kunci pintu kalau mau keluar. Kita makan diluar nanti malam"

Dengan tergesa Ayah menghampiriku di meja makan. Mencium kepalaku seperti kebiasaanya. Aku mengantar Ayah keluar. Memberikan kotak bekal yang sudah aku siapkan.

"Jangan lupa dimakan. Gea sayang Ayah"

Aku tersenyum dan melambaikan tanganku. Kembali masuk kerumah dan menyelesaikan pekerjaan rumah.

Setelah perpisahaan mereka yang sudah hampir satu tahun, hidupku sebenarnya baik-baik saja.
Aku memutuskan untuk bekerja dan aku mendapatkan pekerjaan sebagai barista di salah satu kedai coffe cukup terkenal. Sebetulnya, karena salah pemilik kedainya adalah kenalanku juga.

Bertemu banyak orang baru, melayani mereka bahkan sampai mengenal mereka. Menyenangkan. Banyak hal baru yang aku temui setelah bekerja. Keluar dari rumah ternyata tidak semenakutkan yang aku bayangkan.

Aku bertemu seorang lelaki yang bernama Gio Prahadi. Dia adalah salah satu pelanggan setia disini, setiap hari dia menyambangi tempat ini cuma untuk ngopi. Awalnya kami biasa saja, tapi Gio setiap hari selalu datang sampai aku mengenalnya atau bahkan Gio menungguku. Hubungan kami menjadi dekat, seperti sepasang kekasih, tapi bukan.

"Siang Gio. Mau yang biasa?"Aku menyapa Gio dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirku.

"Udah sore kali, G."Gio mencibirku dan tertawa.

"Yaa masih sianglah baru jam 4"kataku sambil melirik jam ditangaku dan membuatkan coffe untuknya.

Gio duduk di kursi biasanya. Memperhatikan pekerjaanku seperti biasa. Fyi, Gio adalah penggemarku nomor 1.

"Sampai jam berapa lo sekarang?"

"Biasalah, Gi. Kapan emangnya aku pulang cepet"aku memberikan pesanannya.

"Ini Kamis, tumben Karin nggak kesini?"aku bertanya pada Gio. Karin adalah pacar Gio dari SMA. Pasangan lucu menurutku. Karin yang baik, pintar dan elegan itu terlalu bagus buat Gio yang seperti tak punya masa depan. Hidupnya hanya untuk ngopi.

"Lagi organisasi, udah mulai sibuk mau ada acara katanya"

"Bentar ya"

Aku meninggalkan Gio dan melayani pembeli lain. Melakukan pekerjaanku sambil sesekali mengobrol dan bercanda dengan Gio.

Pulang dari kedai, aku dijemput Ayah. Katanya Ayah juga baru pulang dari kantor dan lembur, jadi sekalian saja dia menjemputku.

"Kita makan dulu ya, G"kata Ayah sambil melajukan mobilnya menjauhi kedai.

Kami berhenti di satu warung makan pinggir jalan. Memakan makanan kami dimobil karena tempatnya terlihat penuh. Ayah memesan makanan keluar dan kembali ke mobil menunggu pesanan diantarkan.

"Penuh, G. Kata penjualnya mungkin nunggu agak lama"

"Gapapa Yah.. sambil istirahat aja kita"

"G, kamu seneng kerja disitu? Jadi barista?"tanya Ayah yang menyandarkan dirinya di jok mobil yang dibuat agak berbaring.

"Senenglah. Ketemu banyak orang. Ayah kapan-kapan mampir dong, ntar aku yang bikinin coffenya"

Ayah mengangguk tersenyum. "Seneng Ayah kalau kamu happy."

Ayah mengelus rambutku, menatapku dengan wajah lelahnya. "Kamu masih komunikasikan sama Ibu?"

"Masih, sesekali. Ibu kan juga kerja, jadi mungkin sibuk. Ayah nggak usah terlalu cape. Tuh, mata Ayah berkantung gitu, pasti kurang tidur"

"Iyaa"

"Yah, aku boleh tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Kenapa Ayah sama Ibu milih buat berpisah?"

Ayah diam. Menutup matanya dengan tangannya yang digunakan sebagai bantal.

"Maksudku, aku nggak pernah taukan? Tiba-tiba Ayah dan Ibu ngasih tau akan cerai. Kenapa?"

"Keputusan terbaik dari yang terburuk"

Ayah menjawab saat penjual makanan mengetuk pintuk jendela mobil. Kami tidak melanjutkan pembicaraan itu. Biar saja, biar perpisahaan Ayah dan Ibu menjadi misteri bagiku. Toh semuanya juga sudah terjadi.

Kami makan sambil sesekali mengobrol, membahas aktivitasku seharian ini, menceritakan tentang Ayah dan temannya. Menikmati makanan yang sedang kami santap sampai pulang kerumah dan berpisah dikamar masing-masing. Mengistirahatkan tubuh masing-masing untuk menyambut hari esok.

Rumah yang sepi. Ibu yang pergi. Ayah yang menyendiri. Keluarga yang hanya sebatas mimpi.

.
.
.
.

Tolong bgt, ini mah kalo ada banyak banget kesalahan dalam penulisan, boleh dikasih tau aja. 😉

24 Juli 21

G!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang