5. Melarikan Tahanan

3.3K 288 10
                                    

Dilema, lelaki yang dulu bisa bekerja dengan efektif dan efisien itu mendadak kehilangan ide untuk membuat sebuah rencana. Dia ditugaskan menangkap Rustam alias Rusdy, dan ini akan jadi pertaruhan jabatannya.

Seharusnya ini menjadi tantangan besar untuknya, karena ia selalu berhasil memecahkan kasus kriminal yang selama ini dia tangani di lingkup kota Jakarta. Kini, dia ditugaskan melakukannya tugas lebih luas lagi, karena Rustam atau Rudy adalah penjahat yang mungkin kelas Asia.

Dia pun menatap dr. Naura yang menyandar sambil membaca ayat suci di balik jeruji besi. Kepasrahan terlihat di wajahnya, meskipun gurat sedih tergambar di sana. Bagaimanapun, ia ingat bagaimana Salma begitu menaruh harapan besar pada putrinya. Kelak, dia bisa sehebat dr. Aina Umair, idolanya.

Miftah berjalan perlahan dan berdiri di hadapan Naura yang masih serius membacakan kalam-kalam Allah dengan mata yang sedikit basah. Ia pun berjongkok dan berusaha menatap wajah putih bersih itu.

"Hai," panggilnya.

Namun, Naura hanya memejamkan mata, lalu menyudahi bacaan Qur'annya.

"Wa'alaikum salam," katanya dengan mengangkat wajah.

Miftah tersenyum dan menoleh ke belakang.

"Kemari," pintanya dengan suara pelan.

Naura bergeming. Gadis berkulit putih bersih itu hanya menarikn napas lalu membuangnya perlahan dan tetap tak mau menatap pada lelaki yang mulai gemas dengannya.

Pintu jeruji besi terbuka, Miftah berjalan dan kembali menekuk lututnya ke lantai, menatap wanita yang tak pernah mau menatapnya.

"Aku ada opsi agar kamu bisa bebas," katanya dengan menatap wanita yang tetap cantik meski tanpa sentuhan make-up sama sekali. Sedikit berbeda dengan ketika di rumah sakit, dia akan menggunakan sedikit pewarna bibir dan juga bedak, tapi hari ini dia benar-benar polos dan terlihat putus asa.

"Karirku sudah tamat, orang tuaku tak lagi memiliki rasa bangga padaku setelah ini. Hasil tani yang dia berikan padaku untuk biaya pendidikan dokter yang tak sedikit, telah kamu hancurkan dengan fitnah ini. Kamu ... temanmu, sudah fitnah aku!" katanya dengan terisak dan menunduk, menyeka sudut matanya berulang. Enggan menangis.

"Karena itu akan membantumu keluar dari sini," ujar Miftah pelan.

"Caranya? Aku gak butuh keluar dari sini, aku butuh terbebas dari tuduhan ini," tekan Naura dengan kembali menyeka pipinya.

"Nau ...."

"Doakan saja ibuku tidak syok dengan keadaan ini, lalu ... sakitnya kambuh. Aku meninggalkannya demi cita-citanya melihatku menjadi dokter, bersanding dengan idolaku, tapi kamu ... menghancurkannya." Naura menutup wajah dengan membenamkannya di lututnya yang ia tekuk.

Tangan Miftah terhulur, berniat menyentuh dan membesarkan hatinya. Ia pun memiliki keyakinan bahwa gadis ini tidak bersalah, tapi sepertinya masih sulit dibuktikan.

Pada akhirnya, dia hanya mengepal di udara. Berusaha tersenyum dan duduk di bersila.

"Jika kita keluar dari sini, mencaritahu keberadaan ayahmu, bagaimana?" tanya Miftah.

"Buat apa? Aku tahu rupa dia saja tidak. Sudah tak ingat dia bagaimana dan seperti apa," katanya dengan memalingkan pandangan.

"Setidaknya, saat kamu menikah pasti kamu butuh perwaliannya," ujar Miftah tersenyum manis.

"Aku tidak akan pernah menikah, kecuali ibuku yang meminta dan ayahku datang sendiri. Aku tidak sudi mencarinya," balas Naura dengan menahan isakan.

"Nau, aku punya rencana, mau dengar?" Miftah menoleh ke belakang dan tersenyum. "Aku akan melarikanmu dari sini, kita cari ayahmu untuk membersihkan namamu."

NIKAH TANPA CINTA (Tersedia Di Gramedia)Where stories live. Discover now