9. Kisah Para Hati yang Patah

2.9K 308 18
                                    

Malam kedua pernikahan, Naura masih tetap enggan memperlihatkan aurat kepada suaminya. Dia masih rapi dengan kerudung menutup kepala, dan lebih rutin lagi membaca ayat suci. Selepas maghrib, ia pun hanya makan sedikit di meja makan, setelah itu kembali ke kamar.

Demi menjaga nama baik Miftah, dia terpaksa satu kamar dengan lelaki itu padahal sempat menolak. Memilih duduk di sofa dan melantunkan ayat suci.Begitu merdu terdengar, begitu membuat sosok suami asal-asalannya semakin kagum.

Setelah usai, ia menaruh Al-Qur'an di meja dan memejamkan mata, mencoba menemukan ketenangan setelah lenyapnya kehidupan yang dia harapkan sejak lama. Karirnya sebgai dokter, bekerja di Rumah Sakit Abdullah Umair dan menjadi orang kepercayaan dr. Aina Umair, semua kandas.

Ia pun meringkuk di sofa dan memejamkan mata. Sementara itu Miftah menggeleng dan tersenyum.

"Pengen aku pindahin dengan cara dibopong ala bridal style ya?" godanya membuat Naura membuka mata. "Sini," katanya menaruh dua guling di antara mereka. "Aman."

Naura bangkit, berjalan ke sisi kanan, lalu meringkuk di sana dengan gamis dan kerudung yang tetap tak ia lepas.

Gemas, Miftah meremas rambutnya sendiri dan menggeleng. Mengatur napas dengan susah payah.

"Sabar," gumamnya sambil berbaring juga di ranjang yang sama. Bedanya ia terlentang dan menaruh tangan di keningnya, sedangkan Naura memunggunginya.

Sampai suara adzan shubuh berkumandang, Naura kembali membuka mata. Tidurnya tidak pernah lelap kecuali saat di mobil. Cemas, membuatnya berjaga-jaga agar tak disentuh oleh lelaki yang menurutnya genis.

Ia pun ke kamar mandi, berwudhu dan menjalankan salat shubuh. Miftah sendiri baru bangun, menatap istrinya yang tengah membawa wirid dan khusyuk sekali berdoanya. Perlahan, ia juga beranjak dari tempat tidur, ke kamar mandi dan wudhu, lalu salat di samping Naura.

"Cowok tuh salat di mesjid harusnya," sindir Naura sambil melepas mukena yang selalu ia bawa ke mana saja. Menaruhnya di meja, lalu ke dapur dan membantu Mbok Sunirah memasak sarapan.

"Jangan, Den Putri, temani Den Miftah saja."

"Gak apa, dia sudah besar kok," kata Naura sambil mencoba melupakan kegelisahan dan suramnya masa depan. Setelah itu, dia kembali ke atas dan melihat Miftah sudah sedang mencuci mobil di halaman. Dari lantai dua kamar, dia dapat melihat ke sekitar, termasuk ke rumah tetangga.

Naura pun melihat seorang wanita yang cantik tengah menjemur pakaian, tapi matanya lebih banyak pada sang polisi yang tengah mencuci mobil. Ia pun penasaran, mengamati wanita itu dengan saksama, pun mengamati Miftah yang juga melirik ke arah jemuran tetangganya.

"Cih, dasar ganjen," omel Naura mencari sesuatu untuk dia lemparkan pada lelaki menyebalkan yang tengah pura-pura mencuci mobil padahal karena mau lirik-lirikan sama tetangga, begitu pikirnya.

Naura pun mengambil kertas dan dia gulung, lalu menatap Miftah yang tersenyum pada mobilnya setelah melirik perempuan di seberang rumah yang juga meliriknya diam-diam.

Setelah dia gulung, tak kenal ampun dia lemparkan ke kepala suaminya yang langsung terkejut dan menoleh ke atas. Miftah tersenyum dan mengedipkan dua matanya dengan manja, lalu menggerakkan tangan meminta Naura turun.

Naura malah menatap wanita yang ada di seberang rumah, karena ia terlihat buru-buru mengakhiri menjemur pakaian, lalu pergi ke dalam setelah melihat Naura menatapnya. Miftah pun bergegas cuci tangan dan naik ke lantai dua menatap Naura yang masih menatap ke rumah tetangganya.

"Datangi aja sih? Ngapain pake intip-intipan? Apa istri orang?" tanya Naura dengan sinis.

"Hmm, apa ini tanda seorang istri cemburu pada suaminya?" Miftah malah balas bertanya.

NIKAH TANPA CINTA (Tersedia Di Gramedia)Where stories live. Discover now