10. Pilih Istri atau Mantan?

3.2K 384 40
                                    

Naura mendorong tubuh suaminya agar menjauh, lalu ia mengusap wajahnya dan menoleh.

"Ingat, kita menikah belum tentu resmi." Dia menatap serius.

"Kita menikah resmi, semua syarat secara agama terpenuhi. Apa lagi sih, Nau?" tanya Miftah dengan serius.

Naura tak memberikan jawaban, dia kembali ke sofa dan melirik Al-Qur'an.

"Sarapan dulu, yuk." Miftah membuka pintu kamar.

"Aku gak selera makan."

"Mau makan roti sobek aku aja?" Miftah mengangkat kaus dan memamerkan perutnya.

"Ganjen! Sono tawarin mantan kamu."

"Serius nih?" tanya Miftah terkekeh dan mengusap wajahnya. "Dia sudah mantan. Kamu istri aku," lanjutnya sambil keluar dari kamar.

"Ih, kenapa kok aku kayak seneng denger dia ngomong gitu?" gumam Nauara dengan menahan pipinya yang bersemu merah. Ia pun beranjak dan turun ke ruang makan.

Miftah sudah tengah menyendok nasi ke dua piring.

"Makan yang banyak biar gak terlalu kurus," kata Miftah menoleh pada Naura yang menuruni tangga dengan wajah yang dibuat judes lagi.

Namun, belum keduanya menikmati hidangan, seorang warga datang ke rumah Miftah, dia mengundang Naura untuk ikut pengajian yang diadakan di rumah salah satu warga. Mereka pun beranjak dari meja makan menuju ruang tamu dan menyambut dengan sopan.

"Kalau tidak keberatan, Bu Kompol hadir di pengajian. Biar kenalan sama warga di sini. Dulu kan Ibu Hadikusuma juga selalu berbaur dan rajin pengajian." Wanita itu sangat sopan.

"Insyallah saya hadir," ujar Naura dengan sopan dan tersenyum manis.

"Masyallah, Pak Kompol bisa banget pilih istri secantik ini," ujar ibu-ibu lain yang datang mengundang.

"Iya dong, kalau gak cantik dan cerdas serta manis gini mana mungkin saya terpikat," balas Miftah menatap Naura yang tersipu dan merona untuk kedua kali.

"Acaranya kapan?" tanya Naura dengan sopan dan tersenyum yang membuat Miftah menatapnya dari samping tanpa kedipan. Persis seperti pertama kali bertemu.

Ceria, senyumnya manis, ramah dan sangat lembut. Membuat ia rindu akan sosok dokter asisten dr. Aina Umair itu kembali ceria seperti dulu.

"Nanti habis dzuhur, Bu."

"Baiklah, isnyaallah hadir. Saya usahakan," ujar Naura dengan menoleh pada lelaki yang tengah menatapnya.

Tamu pun berpamitan, lalu Naura dan Miftah menikmati sarapan mereka.

"Kamu mau pakai baju mana?" tanya Miftah menatap istrinya yang menoleh.

"Yang ada aja," jawabnya santai.

"Pasti jadi sorotan, masa istri seorang kompol bajunya ... biasa aja," katanya dengan angkat bahu.

"Nanti aku bilang sama mereka aku istri bohongannya, simpel," balas Naura. Membuat Miftah tersenyum dan mengangguk.

"Nanti habis makan kita cari baju," ujar Miftah dengan mengusap bibirnya dan kembali ke lantai dua untuk mandi.

Meninggalkan Naura yang hanya menarik napas pasrah. Dia pun berjalan ke luar, menikmati udara segar dan anak-anak yang riuh bermain karena hari libur.

Beberapa orang yang lewat menyapanya sopan. Ia pun tak menoleh ke arah rumah yang halamannya sangat lega dan jadi tempat anak-anak bermain. Terlihat Aina keluar dari rumah dengan wajah yang selalu sendu.

NIKAH TANPA CINTA (Tersedia Di Gramedia)Where stories live. Discover now