Something Impossible

20 2 10
                                    

Di lain tempat dan waktu berbeda. Vanya, seorang gadis bertubuh yang bisa dikatakan pendek, nyaris sesak napas karena kerumunan siswa-siswi dari SMA Gema Nusa dan SMA Bakti Mulya sedang bereuforia di tengah-tengah lapangan basket milik SMA Gema Nusa, dengan musik yang masih memekakkan telinga.

Gadis itu diseret paksa oleh sang teman untuk ikut meramaikan penutupan turnamen  basket pada hari ini.

“Sialan banget Si Widy! Awas aja kalau ketemu bakal gue bejek-bejek tuh anak!” umpat Vanya kesal usai terbebas dari kerumunan.

Gadis itu berjalan cepat ke tribun dan mengambil tasnya lalu sedikit berlari menuju pintu keluar stadion milik SMA Gema Nusa ini. Sesampainya di gerbang depan, Vanya merogoh ponsel dari tas dan mendial nomor seseorang dari daftar kontaknya.

Lama menunggu, gadis itu tak dapat jawaban dari orang yang diteleponnya. Vanya berdecak kesal dan mematikan ponselnya, lalu gadis itu pun mulai berjalan meninggalkan gerbang depan SMA Gema Nusa menuju terminal terdekat. Trotoar yang dilewatinya gelap, karena beberapa lampu penerangan jalan tiba-tiba mati seiring dengan langkah kakinya.

Mendadak bulu kuduk Vanya meremang seketika, matanya menatap awas ke kanan dan ke kiri. Semakin cepat langkah  kakinya semakin terdengar jelas langkah yang mengikuti di belakangnya. Jantung gadis itu sudah berdetak tak normal, perasaan kalut bercampur cemas menyelimuti hati.

“Akkkhhh!” Refleks, Vanya berteriak ketika merasakan ada yang menepuk pundak sebelah kanannya. Gadis itu menutup rapat kedua matanya dengan telapak tangan.

“Dek, awas ada mobil!!”

“Minggir, Dek!!”

“Dek!!!”

Beberapa teriakkan orang-orang menyadarkan Vanya, gadis itu membuka matanya perlahan dan terkejut karena baru menyadari posisinya saat ini, seingatnya tadi ia tengah berjalan di trotar dan saat ini ia sudah berada di tengah-tengah jalan.

“Cepat minggir, Dek!!” teriak seseorang di pinggir jalan.

“Ha?”

Saat Vanya mendongak sinar yang cukup menyilaukan membuatnya mengernyit dan menyipitkan mata sebelum akhirnya tubuh gadis itu terpental cukup jauh karena sebuah taksi berwarna kuning menabraknya.

“Gue mohon ... gue belum mau mati sekarang,” gumam Vanya dalam hati ketika tubuhnya sudah dalam posisi tertelungkup dengan kepala membentur pinggiran trotar dan mengeluarkan banyak darah segar.

“Ambulans! Telepon ambulans cepat!”

“Angkat pelan-pelan!”

“Cari ponselnya dan hubungi keluarganya!”

Beberapa suara orang yang berkumpul di sekitarnya masih dapat Vanya dengar meskipun samar-samar. Tubuhnya terasa mati rasa, ia tak dapat menggerakkan satu jari maupun anggota tubuh lainnya. Membuka mata saja tidak bisa, terlebih dadanya semakin sesak karena tidak bisa bernapas dengan baik.  

“Loh? Bukannya tadi gue kepental?” gumam Vanya sembari menggaruk kepalanya dan menoleh ke arah kerumunan orang di pinggir trotoar yang berjarak cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

“Tunggu dulu, itu kerumunan apaan, sih?” ujarnya bingung sembari mendekati kerumunan orang yang sedang panik di pinggir trotoar.

“Gak mungkin, ini pasti gak mungkin, buktinya gue baik-baik aja, nih!” Vanya menggeleng keras saat netranya menatap sosok yang berada di tengah-tengah kerumunan orang itu.

Itu tubuh Vanya dengan kepala bersimbah darah dan tulang kaki yang menyembul keluar dari daging.

“Apa sekarang gue beneran udah mati? Kayaknya iya, gue gak bisa denger detak jantung gue sendiri dan ....”

Seventh Sense [SUDAH TERBIT✓]Where stories live. Discover now