Bad Feeling

13 2 11
                                    

Usai sarapan dan berpamitan kepada kedua orang tua serta kakeknya, Gray langsung berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum. Tak butuh waktu lama, setengah jam berdesakan bersama penumpang lain, akhirnya Gray tiba di depan gerbang SMA Gema Nusa dengan peluh membanjiri pelipisnya.

“Pagi, Den Gray, saya denger sampean menang turnamen lagi, ya? Selamat, ya, Den.”

Gray tersenyum hangat mendengar sapaan dan ucapan selamat dari satpam penjaga gerbang.

“Pagi, Pak, makasih, Pak. Kalau belum nonton pertandingannya, jangan lupa tonton siaran ulang di channel YouTube sekolah, Pak. Mari, Pak.”

Gray melanjutkan langkahnya menuju kelas. Pemuda itu sesekali tersenyum menanggapi sapaan dari adik kelasnya.

“Gray!”

Sontak Gray menghentikan langkah, lalu membalikkan badannya dengan dahi berkerut, netra pemuda itu menatap gadis berkacamat yang tampak terengah-engah mendekatinya.

“Kenapa, Rin?” tanya Gray langsung.

“Lo gue hubungin dari tadi malam kenapa gak aktif, sih?” kesal gadis yang dipanggil Gray dengan sebutan Rin tadi.

Gray nyengir lebar sembari terkekeh pelan. “Sorry, gue lupa charger. Lagian kemarin pas pulang gue langsung tidur,” jawab Gray apa adanya.

“Kebiasaan lo, ya! Lo tau gak sih?! Satu sekolah lagi heboh bahas anak Bakti Mulya yang kecelakaan tadi malam di dekat terminal dua lima?”

“Mana gue taulah! Gue aja baru tau sekarang pas lo bilang ini! Emang kenapa sama kecelakaannya?” Gray merasakan firasat buruk mendengar hal ini.

“Kak Malika minta kita meliput insiden ini sampai tuntas,” balas Rin sembari memperbaiki letak kacamatanya.

Gray berdecak kesal, firasatnya benar. “Kenapa tim kita, sih, yang diminta untuk meliput? Tim Kak Malika dan Kak Adnan bisa, tuh, meliput. Gue, kan, pernah bilang, gue mau ikut jurnalistik dengan syarat nggak mau liput insiden-insiden kecelakaan kayak gini!”

Rin memutar bola matanya kesal, rekan satu ekskulnya ini memang terkadang susah diajak kerja sama. “Gray! Kak Malika dan Kak Adnan, mereka lagi sibuk persiapan ujian akhir, loh! Jadi, cuma tim kita yang nggak sibuk.”

“Gue sibuk, Rin!”

“Gray! Lo gak bisa egois gini dong! Tim dua dan empat lagi meliput banjir di luar kota, jadi yang free cuma tim kita!”

“Kak Malika mana? Biar gue yang ngomong sama dia untuk tukar tugas dengan tim lain! Gue lebih baik meliput bencana dari pada orang kecelakaan,” kata Gray setengah emosi.

Tak kunjung mendapat jawaban dari Rin, Gray berdecak sesaat sebelum mendahului gadis itu menuju ruang redaksi jurnalistik yang berada di arah berlawan dari kelasnya.

Jengkel dengan sikap Gray, Rin cuma bisa bersungut-sungut di belakang pemuda itu sembari mengikutinya.

“Lo kenapa, sih, gak mau meliput kecelakaan?” tanya Rin penasaran.

Gray hanya menoleh sekilas pada Rin, lalu kembali memfokuskan pandang ke depan tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.

Bukan tanpa alasan Gray tidak mau meliput orang kecelakaan, jelas ia mempunyai alasan yang kuat untuk menolaknya. Faktor utama tentu saja rumah sakit, meliput orang kecelakaan pasti akan mengharuskannya ke rumah sakit dan hal tersebut benar-benar sangat Gray benci.

    Kemampuan yang ia miliki belum bisa sepenuhnya ia kontrol. Jadi, membawa kemampuan ini ke rumah sakit sama saja mengundang petaka bagi dirinya sendiri. Gray benci makhluk astral yang berdomisili di area rumah sakit. Kata kakeknya, di rumah sakit merupakan sarang makhluk astral yang paling kuat energi jahatnya.

Seventh Sense [SUDAH TERBIT✓]Where stories live. Discover now