8. Bundaaa!!!

508 89 40
                                    

Carla Jaeger merasa dunia di sekitarnya berputar 180 derajat ketika dia menginjakkan kaki di ambang pintu dapurnya. Dia pikir, matanya mulai bermasalah karena faktor usia atau karena efek bangun tidurnya beberapa saat lalu. Jam dinding berbentuk daun maple yang terpasang di arah barat tubuhnya memang menunjukkan pukul 05:21, masih cukup dini. Tapi setelah mendengar pekikan dan umpatan beberapa kali dari salah satu objek yang berdiri di depan kompor selama lima menit, barulah ia sadar kalau semua itu nyata.

"Eren...? " tanyanya sambil mendekat. Matanya sedikit terbelalak ketika melihat suasana berantakan di sekitarnya. "Kamu... ngapain... ? "

Eren; yang saat ini masih mengenakan piyama cokelatnya, dirangkap apron putih yang biasa ibunya pakai –tapi saat ini warnanya tak putih lagi, melainkan perpaduan hitam kecap, merah saus tomat, dan bercak-bercak cipratan minyak–, dengan tangan kanan memegang spatula berminyak dan berhadapan kompor yang sudah mati dengan wajan berisi... nasi goreng(?) terlihat memasang wajah melas dengan bibir setengah tersenyum.

"Aku... masak, Bun. Hehehe... "

"Kamu... ngapain...? " Bunda Carla sepertinya masih syok dengan pemandangan ini, dia sampai tak sadar kalau pertanyaan sebelumnya diulang lagi dan mulutnya cukup lama terbuka. Kondisinya akan terus seperti itu kalau saja Eren tidak menepuk pipi ibunya pelan. Beliau langsung mengerjap.

"Ah! Maaf, Bunda. Eren mukulnya keras, ya? " tanya Eren was-was.

"Nggak, kok, Eren... Bunda nggak pa-pa. Maaf, Bunda ngelamun tadi. " Kedua tangannya terangkat untuk mengusap wajah. "Bunda cuma kaget ngelihat kamu kayak gini. "

Eren meringis kecil sembari mengaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal. "Hehehe... Maaf, ya, Bun. Dapurnya jadi kotor. "

"Kamu ada acara apa, Eren? Kalau kamu butuh bantuan di urusan masak memasak tinggal bilang ke Bunda aja. Kamu nggak perlu repot-repot kayak begini. " Bunda Carla meraih kedua tangan anaknya. Terlihat beberapa bekas kemerahan disana. "Tangan kamu jadi merah-merah gini, kan. "

Eren masih tersenyum. Dibiarkannya sang bunda meniup-niup dan mengelusi bagian tangannya yang terluka. Eren menyukainya. Ibunya memang selalu memanjakan Eren.
"Eren nggak pa-pa, Bun. Cuma luka kecil, kok. Nggak terlalu sakit. "

"Nggak sakit tapi sebelumnya kamu mekik-mekik kesakitan terus! "

Eren meringis lagi.

"Ayo, Bunda obatin dulu tangan kamu. Kita bersihin dulu. " Bunda Carla membawa Eren ke wastafel dapurnya untuk membasuh tangan Eren. "Kamu biarin tangan kamu dialiri air dulu, ya, Eren. Bunda mau ke kamar sebentar, nyari salep luka bakar dari kotak obat. "

Bunda Carla berlalu pergi setelah mendapat anggukan singkat dari Eren. Eren masih dalam posisinya berdiri di depan wastafel dengan kedua tangan terulur di bawah kucuran air keran. Kurang dari dua menit berjalan, Bunda Carla sudah kembali dengan sebotol obat di tangannya.

"Untung aja Ayahmu udah nyetok obat minggu lalu, " ucap Bunda Carla begitu sampai. "Udah, kesini, Eren. Biar Bunda obatin tangan kamu. "

Eren patuh. Dia mematikan keran wastafel lalu berjalan menuju kursi yang sudah disediakan ibunya. Bunda Carla langsung mengelap tangan Eren yang terluka dengan penuh hati-hati menggunakan tisu.

"Kamu bener-bener nggak pernah berubah, ya, Eren, " gumam ibunya disela kegiatan mengelapnya.

"Berubah gimana, Bunda? Eren bukan kupu-kupu atau kodok yang bisa bermetamorfosis atau power ranger sama Ultraman yang punya kekuatan super. "

My (Handsome) Girlfriend [EreRi Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang