20° Laef (2)

801 148 15
                                    

Hari ini upacara dan cuaca begitu panas. Sinar matahari membuatku menyipitkan mata, ketika berdiri di posisi paling depan. Tidak hanya di dunia nyata, bahkan di dunia novel aku juga harus berdiri paling depan? Tadi aku sempat berpikir untuk bertukar dengan yang lainnya.

Tapi tidak jadi karena ...

lupakan.

Sekitar setengah jam, akhirnya upacara selesai. Aku menguap beberapa kali, merasa lelah. Tanganku kuregangkan, saat aku berjalan di keramaian menuju tangga.

Awalnya tidak ada yang aneh, sampai salah satu orang tanpa sengaja menabrak ku.

BRUKK

Aku jatuh di tangga pertama.

Bahkan aku belum sempat berdiri, tetapi tanganku sudah diinjak. Aku meringis kesakitan. "Singkirkan kakimu!"

Anehnya, dia lanjut berjalan dengan santai, seolah-olah tidak mendengarku. Aku berdiri kembali dan menatapnya dengan tajam dari belakang. Dia lewat dari samping, berarti dia sengaja menginjak tanganku!

"Tunggu!" seruku, mengejar orang tadi yang sudah bercampur kerumunan. Aku menggeser beberapa orang di tangga agar tidak menghalangi jalanku.

Akhirnya, aku berhasil mencapai gadis itu. Dia menggunakan kacamata hitam berbentuk kotak dan rambutnya diikat satu. Aku menatapnya kesal.

"Apa maksudmu menginjak tanganku!?" Aku menunjukkan tanganku. Masih ada bekas pijakan disana. Sebenarnya aku sedikit khawatir karena setelah diinjak tadi, tanganku sempat sakit sebentar. Namun, sekarang tanganku benar-benar kebas. Aku mencoba memegang tangan kiriku menggunakan tangan kananku dan rasanya ... tidak ada.

Aku mengibaskan tanganku berulangkali.

Gadis dihadapanku menatap tanganku, lalu diam sebentar, sebelum balik bertanya, "Apa aku yang melakukannya?"

"Ya. Tentu saja kamu. Aku melihatmu." Tidak mungkin aku salah orang. Aku mengingat dan telah mengejarnya sampai ke sini.

Dia menggaruk kepalanya lalu teriakan tiba-tibanya membuatku hampir melompat kaget. Aneh!

"Argh!"

Aku menatapnya bingung, ketika dia melanjutkan berkata dengan nyaring, "KEPALAKU, SEPERTINYA ADA SESUATU DI DALAMNYA, UKH--"

Aku mundur dengan kaget. Tidak ada yang mempedulikannya walaupun dia berteriak keras seperti itu. Tetapi aku panik. Dia terlihat kesakitan sekali.

Tangannya berusaha meraihku, membuatku semakin mundur.

"Keluarkan sesuatu dari kepalaku--ARGH!"

Tangannya beralih menjambak rambutnya sendiri, "Bukan aku. Benar-benar bukan aku." Dia menunjuk kepalanya dengan frustrasi dan memukulnya sampai berbunyi keras. BUGH. "Ada sesuatu. Ya ... ada sesuatu di sini. Bantu aku!"

Aku mematung di tempat, tidak berani mendekatinya sama sekali. Dia mulai berjongkok dan menutupi kepalanya. "Argh, kepalaku! Keluarkan isinya!"

Keringat meluncur dari dahiku. Ada apa dengannya? Apa benar ada sesuatu yang salah dengan kepalanya? Kenapa jadi seperti ini ...

Aku menarik nafas dalam dan meliriknya dengan hati-hati.

"Ada apa denganmu?" tanyaku pelan, menatapnya dari jauh.

"Bantu aku ...." Dia mengangkat pandangannya, menatapku penuh harap. Jarinya beralih menunjuk kepalanya yang perlahan-lahan mengeluarkan tetesan merah. Aku tidak tahu darimana itu keluar dan aku merasa ngeri.

Perutku mual. Ada perasaan ingin muntah yang kutahan sekuat tenaga.

Dan yang kulihat terakhir kali adalah, kepalanya membesar, seiringan dengan pusing yang menguasai ku dan aku memejamkan mataku. Tubuhku rasanya akan tumbang kapan saja dan aku mendengar suara ledakan sebelum kesadaran ku menghilang sepenuhnya.

•••

"Kesialan Jesna benar-benar parah."

Itu hal pertama yang ku dengar ketika membuka kembali mata dan mengedarkan pandangan. Thomas tampak berbicara sendiri dengan frustrasi. Melihatku sudah sadar, dia menghela nafas.

"Apa yang terjadi?" tanyaku bingung. Aku ingat terakhir kali aku mendengar suara ledakan.

Thomas duduk dengan tatapan serius. "Tidak ada apa-apa. Hanya saja kamu harus lebih berhati-hati. Ini pasti kesialan Jesna yang kamu maksud waktu itu kan?"

Aku mengangguk pelan. Ini pasti kesialan Jesna yang lainnya. Aku tidak habis pikir, kenapa harus seperti ini? Padahal Thomas mengatakan bahwa dia tidak menulis hal seperti ini di novel lanjutannya. Jesna tidak sial, katanya. Tapi aku terus terkena sial semenjak menempati tubuh ini.

"Apa ini ada kaitannya dengan kematian Jesna?" tanyaku ragu. Waktu itu Thomas sempat berspekulasi bahwa penyebab kesialan Jesna bisa saja karena aku menempati tubuh Jesna yang seharusnya sudah meninggal kalau dilihat dari alur novel.

Thomas menggeleng. "Saya tidak tahu."

"Sebenarnya, saya sempat berpikir seperti itu. Tetapi setelah masalah kardus ajaib kemarin, saya malah merasa bahwa orang itu lah dalang dibalik ini semua," lanjutnya.

Aku mengerutkan kening dengan bingung dan memijat pelan pelipisku. Tanganku ternyata sudah tidak kebas.

"Oh iya. Apa kamu mengenal pemilik kardus itu?"

Aku mengangguk pelan. "Dia pasti teman sekelas ku, Laef. Aku sering melihatnya membawa kardus kemanapun dia pergi. Kemarin aku merasa aneh karena dia malah meninggalkan kardus itu. Tampaknya kardus kemarin hanya kardus palsu yang digunakan sebagai peringatan untukku."

"Karena sudah seperti ini, kita harus memikirkan cara untuk menyingkirkan kesialan mu, agar tidak ada hal buruk ke depannya."

Transmigrated Into a Novel [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang