Part 41 When he cries

19.8K 2.6K 11
                                    

Jelita
-
-
-
Ma Popon tampak lebih panik ketika Pak Aska sudah menghilang di balik pintu kamar. Beliau duduk disamping gue dan Mika dengan gelisah. Mika lalu beringsut ke pelukan Ma Popon tanpa perlu diminta. Seketika wanita setengah baya itu memeluk Mika erat dan terisak.

"Tenang, Mak." Gue mengusap lengan atas Ma Popon yang terlapis daster batik yang dikenakannya.

"Ma, kenapa?" Tanya Mika polos.

"Ma mah takut Mika diam-" tidak tega melanjutkan, Ma popon makin membenamkan wajahnya disisi wajah Mika dan menciuminya.

Gue mengerti. Ma Popon itu udah sayang banget sama Mika. Beliau bukan cuma sekedar asisten rumah tangga, tapi sudah seperti bagian dari keluarga ini. Apalagi Mika ini bisa dibilang diurusnya bersama Ibu sejak bayi merah ketika ditinggal ibunya. Jadi perasaan takut itu pasti sangat berat untuk Ma Popon.

"Ma tenang aja. Mas Aska gak bakal biarin itu terjadi."

Ma Popon masih terisak tapi lebih lirih.

Gue hanya bisa menunduk menggenggam tangan gue yang sebenarnya dingin juga. Jujur kehadiran Ibu Mika yang tiba-tiba ini juga membuat gue khawatir. Entahlah gue berhak merasa begini atau tidak. Toh dia memang ibunya Mika kan.

Gue mendengar sayup-sayup tangis perempuan dari ruang tamu. Gue menoleh pada Ma Popon yang masih berderai air mata.

"Ada apa ya, Ma?"

"Gak tahu, neng. Kayanya itu suaranya Sofia."

Gue ingin mengetahui apa yang terjadi. Tapi rasanya bukan waktu yang tepat jika gue keluar saat ini juga. Gue takut malah memperkeruh suasananya. Mas Aska mungkin udah jadi bagaian hidup gue. Tapi masa lalu dia ini tetaplah urusannya dia. Gue merasa tidak punya hak ikut campur.

Beberapa saat berlalu Ibu kemudian muncul dan meminta Ma Popon untuk membantu Sofia. Beliau juga sempat memeluk Mika erat, sampai kemudian Arka meminta Ibunya untuk istirahat di kamar aja. Dengan berat hati Mika pun ditinggalkan bersama gue dulu. Tidak baik untuk anak ini melihat luapan emosi para penghuni rumah hari ini.

Gue lebih baik mengalihkan Mika dengan mengajaknya mandi. Sejak bangun tidur tadi dia masih belum sempat mandi. Untungnya anak ini kembali happy ketika bermain dengan busa sabun mandi. Tatapan heran yang sedari tadi mampir diwajahnya sudah hilang.

"Mika mau pakai baju apa?"

"Emm, Elsa?"

Gue sedang memilah-milah baju dalam lemari pakaian Mika ketika Ma Popon kembali ke kamar ini.

"Neng, biar Ma aja." Katanya  mendekat ke arah lemari dan mengambil alih pekerjaan gue.

"Ibunya Mika dan suaminya udah pulang syukurnya. Neng temenin Abang aja ya, di belakang. Ma kasian." Ma Popon berbisik karena takut di dengar Mika.

"Sama Ma Popon dulu ya. Ate ke belakang dulu sayang."

"Oke."

Gue mengecup puncak kelapa Mika yang masih setengah basah. Lalu keluar dari kamar.

-

Di teras belakang gue melihat punggungnya. Ia duduk di sisian teras dan berselonjor kaki. Kepalanya yang tertunduk seolah memperlihatkan ada yang membebaninya.

Gue mengehala nafas. Berharap dia baik-baik saja.

Gue tidak langsung menghampirinya. Terlebih dulu gue ke dapur untuk membuatkannya teh hangat.

"Mas?" Dia akhirnya mendongak dan melihat gue yang berdiri di sampingnya. Matanya terlihat sayu karena lelah. Secara fisik iya, secara mental mungkin juga.

Gue menyerahkan secangkir teh untuknya. "Minum dulu Mas. Biar lebih rileks."

"Terima kasih." Dia menyesap seteguk kecil teh itu, lalu menyimpannya di samping ia duduk.

"Saya boleh di sisi, atau mas lagi pengen sendiri dulu?" Gue akan menghargai dia kalau memang sedang butuh waktu untuk sendiri.

Tangannya lalu terangkat untuk menggapai tangan gue.

"Sini aja. Temenin." Katanya dengan menarik gue pelan supaya ikut duduk di sampingnya.

Beberapa saat gue hanya membiarkan hening di antara kami. Gue menatapnya yang sedang menatap kosong. Langit sore menerpa wajahnya yang layu. Tangan gue pun berinisiatif mengusap punggung kokohnya. Membuat dia menoleh pada gue dengan tatapan sedih.

Lalu kepalanya begitu saja terkulai di pundak gue. Gue merasakan nafasnya yang berat. Berulang-ulang, dia cuma membuang nafas beratnya dan mendesah lelah.

"Capek banget saya, Lit." Ujarnya dengan suara lemah.

Gue tidak mengatakan apa-apa. Hanya tangan gue yang menggenggam tangannya erat. Gue ingin menyampaikan bahwa gak apa-apa, ada gue yang akan menemani dia. Paling enggak menemani, walau pun mungkin gue gak punya solusi.

"Apa selamanya saya yang akan disalahkan? Atau.. memang pada kenyataannya saya satu-satunya yang salah?"

Tidak perlu mendengar keseluruhan cerita untuk mengetahui apa maksud perkataan Mas Aska. Tentu saja, yang dimaksud adalah pernikahan dia sebelumnya.

Tangan gue yang lain, yang tidak menggenggam tangannya, lalu naik untuk mengusap kepalanya di pundak gue.

"Satu sisi, saya kasian dengan apa yang terjadi pada dia sekarang. Tapi saya juga marah padanya." Ujarnya mengeluarkan isi pikirannya.

"Saya tidak pernah mengharapkan hal buruk untuknya. Saya cuma berharap kalau dia juga bisa menyayangi Mika. Itu saja " katanya dengan nafas memburu.

"Sabar, Mas."

Gue tidak mengatakan apa pun lagi. Karena gue yakin dia tahu sendiri jawabannya. Bahkan dia sendiri yang bilang, bahwa kegagalan itu bukan karena satu pihak saja, dua-duanya pasti ada andil. Dan yang ada dipikiran Mas Aska saat ini hanya rancaunya yang sudah kepalang lelah.

Helaan nafas berat terdengar lagi. Lalu pundak gue terasa dibasahi sesuatu.

Gue merunduk untuk bisa menatap wajahnya. Matanya terpejam, dengan sudutnya yang basah. Sakit itu sampai pada gue. Gue tidak bisa membayangkan betapa lelahnya dia dengan segala beban hidupnya selama ini.

Gue mengusap kedua sudut matanya yang masih terpejam. Dan gue tidak kuasa untuk tidak menariknya dalam pelukan gue.

Dia terluka. Hatinya yang terluka.

"Gak apa-apa, Mas. Gak apa-apa." Gue membisikan itu pada telinganya.

Makin deras tangisnya meski tanpa suara. Pundak gue semakin basah karenanya. Ketika itu dia membalas pelukan gue lebih erat lagi, dan membenamkan wajahnya lebih dalam lagi.

Gak apa-apa, Mas.

Berharap setelah ini, dia memang baik-baik saja.

To be continued..

SAMAKTA - EndWhere stories live. Discover now