[31.] Perfectly Imperfect

16 3 0
                                    

Jari-jemari itu menari-nari bersama tinta hitam di atas kertas putih. Menuliskan kata demi kata membentuk kalimat. Karena Adam yakin bahwa Nana tidak mau berbicara padanya, alhasil tulisanlah yang jadi perantara.

Seharusnya lelaki itu sudah sampai di rumah, tapi karena ia merindukan sang teman, Adam memilih menemui di kafe Hyebaragi.

Benar saja dugaannya, pasti ada Nana di sana.

"Nana..."

Gadis rapuh yang duduk sendiri di pojok,  melamum menatap jalan raya melalui jendela kaca. Kemudian pemilik suara yang sudah ia hafal di luar kepala itu mengganggu ketenangan sang empu.

"Na—"

"Ngapain ke sini?" Tanpa mengalihkan pandangan, kalimat bernada dingin itu keluar. Nana bergeming, tetap menatap jalanan seakan tidak ada manusia di sebelahnya. Ia seperti patung yang diberi nyawa.

Adam menarik napas sejenak, meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Meyakinkan diri sendiri bahwa teman satu-satunya tetap ada, tidak meninggalkannya.

"Apa kabar?" tanya Adam.

"Nggak perlu basa-basi."

Kehilangan yang Adam rasakan begitu bermakna, karena dia hanya memiliki satu teman dalam hidupnya. Dia tidak pernah kehilangan. Sekarang dia ketakutan.

"Lo nggak kangen gue gitu?" gurau Adam, ingin menghangatkan suasana. Namun, hanya bisu yang ia dapati.

Karena rasa sayangnya lebih tinggi, Adam berani melawan rasa takut itu sendiri.

Adam meletakkan sesuatu di atas meja. "Gue mau minta maaf... Mawar merah ini sebagai permintaan maaf gue."

Tapi gue nggak tahu letak salah gue di mana. Gue nggak pernah bunuh Evan, Na.

Karena rangkaian kata dari mulut Adam, raga Nana bergerak menatap sang lawan. Memandang Adam dengan perasaan sedan.

Nana menahan tangisnya mengingat Adam telah mengakhiri Evan, mengingat Adam yang harus ia relakan.

Melepaskan Adam sama dengan kehilangan teman dan rumah ternyaman.

Namun, kali ini ada hal yang juga membuat dadanya terasa terimpit...

"Kita jaga jarak dulu, Kak."

Bukan karena jarak di antara mereka,

Jeda beberapa detik membuat keheningan tercipta di antara ramainya suasana di sana. Kemudian Adam membalas, "Oke, gue bakal jaga jarak dari lo."

Bukan juga jawaban Adam barusan...

Melihat mata cokelat madu sunyi yang terlihat beda itu,

Melihat mata cokelat madu sunyi yang terlihat sembab itu,

Dan melihat bagaimana buku tangan yang selalu menggenggam jemarinya itu terluka.

Kak Adam kenapa...

Sesak sekali rasanya.

Nana tahu, luka di buku tangan Adam karena ulah lelaki itu.

Kenapa Kak Adam harus melukai diri sendiri...

Biasanya ada jemari Adam yang selalu menggenggam jari-jemari Nana ketika dia berduka. Memberinya ketenangan dan berusaha menjadi tempat pulang.

Sekarang, jemari itu terasa jauh,

Jemari itu terluka,

Dan pemilik jemari itu menderita.

"Udah... Gue ke sini cuma mau minta maaf aja," ujar Adam. "Terima dan rawat mawar merah ini sebagaimana kita merawat mawar pink di belakang perpustakaan."

Something BeautifulOnde histórias criam vida. Descubra agora