[03.] Jalan Pulang

134 18 1
                                    

"Kamu adalah jalan pulang, kemudian menghilang. Membuatku kehilangan arah untuk melanjutkan langkah."

🎼🎼🎼

Tiga hari terakhir Nana selalu terjaga setiap ia bermimpi dan menangkap suara-suara. Bukan suara menakutkan, tapi menyakitkan; orangtuanya bertengkar.

Terka Nana, Ayah dan Mamanya hanya mendebatkan hal kecil seperti pasangan pada umumnya, namun beberapa bulan belakangan cekcok itu jadi berkembang.

Meraih ponsel yang ada di nakas, Nana berniat mencari kontak seseorang dan menghubungi. Namun, melihat nama kontaknya saja berhasil memanaskan mata.

Dear.

Kontak Evan ia namai begitu.

Andai Evan masih ada, ia akan menelepon, mencari ketenangan dalam suara berat sosok pacar, bercerita soal orangtua. Mengerjapkan mata, Nana tidak boleh menangis. Evan tidak suka dirinya jadi bocah cengeng.

Sekali ini saja, Nana ingin ikut campur urusan Ayah dan Mamanya. Ia tidak mengerti apa yang mereka debatkan di malam hari. Dengan keberanian yang diharuskan, Nana sengaja menjatuhkan gelas dua kali berturut hingga menarik perhatian suami-istri di ruang tamu.

Tujuan Nana sudah berhasil, suara ribut itu telah berhenti.

Ayah dan Mamanya datang ke dapur. "Sayang, kamu belum tidur?" tanya Mama dengan sepatu heels yang terdengar berketuk-ketuk di lantai. Sepertinya Mama baru pulang dari kafe.

Bisnis kuliner Hasna—Mama Nana—cukup melonjak hingga ia sibuk mengurus lima cabangnya dalam satu kota.

Mama mendekat, anak bungsunya terlihat kacau. "Mama tahu, kamu yang pecahin gelas itu, kan?" Sambil berkata ramah, mengelus kepala lalu dikecup.

Mata Mama memerah, seperti perpaduan antara lelah, menahan tangis dan amarah. Hal itu begitu menyayat ulu hatinya.

Ghani—Ayah Nana—bergeming, membiarkan istrinya mengobati rindu pada anak.

"Kamu lapar?"

"Iya, Ma."

"Mau Mama masakin atau pesen online aja?"

Perhatian Nana teralih ke Ayah yang tersenyum, menatapnya tak terbaca. Seperti ada rindu dan pilu menjadi satu dalam tatapan itu.

Mengingat suara tenang Ayah namun sarat akan kemarahan saat bercekcok dengan Mama dan melihat bagaimana mata Mama membuat mood Nana rusak. Yang ada di kepalanya hanyalah; Ayah sudah menyakiti Mama.

"Nggak jadi." Lalu gadis berpiyama biru muda itu masuk ke kamar.

"Sebenarnya kalau kita pisah, yang saya khawatirkan hanya Nana dan Arkaan," ujar Ghani pada akhirnya.

Sementara Hasna membalikkan tubuh, membelakangi Ghani. Beliau tidak kuasa berkata. Tangisnya pecah saat itu juga.

🎼🎼🎼

A lonely road crossed another cold state line
Miles away from those I love, purpose hard to find
While I recall all the words you spoke to me
Can't help but wish that I was there
Back where I'd love to be ...

Petikan gitar akustik dan nyanyiannya berhenti ketika mata cokelat madu itu tak sengaja menangkap si gadis rapuh berdiri memperhatikannya di ambang pintu belakang perpustakaan SMA Hester.

Nana baru tahu kalau di belakang perpustakaan ada halaman sederhana. Tidak banyak tanaman, namun rumput-rumput pendek yang hijau itu nampak segar dipandang.

Something BeautifulDonde viven las historias. Descúbrelo ahora