19

16 4 0
                                    

"Minggir. Ini tempat duduk gue, ngapain lo di sini?" Suara itu membuat Zea dan Zaid kompak menatap Alarikh yang sudah berdiri di samping kursi miliknya. "Kayaknya lo bukan anak kelas gue, ngapain di sini?" pindainya yang memang asing dengan wajah Zaid.

Zaid berdiri dengan cepat, lalu menepuk pundak Alarikh, biasa sok akrab anaknya. "Santai, gue cuma minta wejangan sama Zea, bukan godain kok." Zea tentu tidak mengerti maksud Zaid. Tatapannya meminta penjelasan lebih. "Lo punya pacar kok enggak cerita-cerita sama gue, Ze?" tanyanya memberi lebih dari penjelasan bagi Zea.

"Pacar pacar your head, Alarikh cuma temen duduk gue." Menohok ya bund. Alarikh menelan ludahnya bulat-bulat walaupun tidak sepenuhnya bulat.

Zaid memasang wajah terkejut dan tidak percaya. Tentu bukan pada Zea, tapi pada Alarikh di sampingnya. Ah, masa iya cuma teman duduk segitu protektifnya? "Oke, siap-siap aja ya nanti gue hubungi kalau butuh bantuan lo," ucapnya pura-pura percaya saja dan Zea hanya menganggukkan kepala sebagai balasan.

Sebelum melewati Alarikh, cowok itu menyempatkan diri untuk berbisik, "Lo suka temen gue, kan? Awas lo sampai apa-apain dia!" Setelahnya ia benar-benar melenggang pergi meninggalkan Alarikh yang membeku di tempat. Sekentara itu, kah?

Alarikh duduk dengan kaku, masih berpikir apakah dia memang sekentara itu dalam menyukai Zea atau tidak. Apakah selama ini Zea mengetahui perasaannya?

"Ze?" panggilnya membuat atensi Zea beralih pada cowok itu.

"Eee ..." Alarikh nampak menimbang-nimbang pertanyaannya. Haruskah ditanyakan, atau tidak?

"Nih, lunas ya!" Jeno meletakkan sebungkus roti dan sebotol minuman dingin ke atas meja, sedikit membanting tentunya.

Juki menyusul dan meletakkan sebungkus nasi goreng hangat sembari berbisik pada Jeno, "Udah gue bilang bentar dulu, kan jadi diliatin orang-orang," rutuknya setengah berbisik dengan kesal.

"Mau nunggu kapan lo? Mau waktu pulang juga bakal diliatin kalau modelan kita begini."

"Akhirnya badut IPA 5 datang juga!" seru Alarikh dengan sengaja menyambut kehadiran dua temannya.

"Itu lipstick siapa lo colong Jen merah bener!" seru Entong yang tentu sudah terbahak-bahak melihat wajah Juki dan Jeno.

"Kembang desanya IPA 5 sih ini fix!" celetuk Vanka merasa puas. Dia tertawa ngakak, lupa kalau sedang duduk di samping gebetan.

"Gue sebarin ya Pan?!" ancam Juki kesal.

"Enggak enggak, temen kita."

"Kalau mau foto-foto boleh banget nih, gratis!" seru Alarikh membuat Juki dan Jeno menjadi artis dadakan. Mereka dikejar teman-temannya sampai harus berlari mengelilingi kelas karena minta foto bareng. Hampir berhasil lolos, dicegat dari depan. Mau ke samping, sudah dibendung. Oke pasrah. Kedua cowok itu hanya bisa tersenyum terpaksa pada seluruh kamera yang menyala. Anggap saja latihan photoshoot.

Zea tentu tertawa melihat wajah Juki dan Jeno yang didandani seperti badut. Terutama lingkaran merah besar di hidung yang teramat mencolok. Entah dari mana mereka mendapatkan perlengkapan make up yang jelas hasilnya berhasil menghibur penghuni kelas XII IPA 5 di jam kosong seperti ini.

Di samping, bagi Alarikh tidak ada yang lebih manis dari Zea yang sedang tertawa. Cantik. Walaupun bagi beberapa orang Zea kalah cantik dengan beberapa cewek bahkan Nesya -mantannya- tapi bagi Alarikh Zea yang paling cantik. Memang ya, kalau sudah jatuh hati, mau sehijau apa pun rumput tetangga, tetap lebih segar memandang bunga sendiri. Iya lah, masa Zea disamakan dengan rumput, bunga deh minimal.

Never Started (Complete)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن