Jurig 1 - Pipisku Mau Keluar

196 32 69
                                    

"Aduuuh. Ini berapa lama lagi baru sampai, Aa? Tos bade kaborosotan!" (Udah mau bocor!) Gala menjerit sekuat tenaga. Dia sedari tadi mencari posisi nyaman di jok motor yang melewati kuburan.

"Ini udah mau sampai, A. Tunggu sebentar." Dahi pengendara itu berkerut mencari-cari titik lokasi di ponselnya. "Maaf, ya. Baru daftar jadi ojol beberapa hari ini."

Gala berdecak geram setengah mati. Namun, seorang bocah di depan kuburan memberi jeda sejenak. Wajah pucatnya menatap Gala intens, tapi cowok itu tak lagi peduli. Dia tak kuasa menahan sesuatu yang mendesak di ujung sana, apalagi sejumlah lubang bertebaran yang mengempaskan motor membuatnya nyaris mati suri.

"Lalaunan, A!" (Pelan-pelan, A!) Gala berteriak kencang. "Allahu Akbar! Pipisku mau keluar! Cari minimarket terdekaaat!"

Begitulah, Gala menghabiskan setengah hari memutari jalan yang sama. Bahkan dia sudah tak punya tenaga menggulirkan bola mata yang sudah terbalik ke atas di sepanjang jalan.

"A, ini ada Yomart. Emang mau ngapa--"

"Mau fashion show!" Dengkusan kesal terdengar kala Gala meloncat turun dan menghambur ke dalam minimarket yang memiliki paduan warna merah-hijau-kuning. "Ya pipis, lah! Mau apa lagi?" tanyanya dengan suara mau menangis.

"Hatur nuhun!" ujar Gala ketus. Cowok itu merengut saat berdiri di belakang tantenya. Mereka baru sampai ke tujuan kala matahari nyaris di atas kepala.

"Gala, kenapa kayak gitu bicaranya?" Dicolek lengan Gala sembunyi-sembunyi, merasa tak enak terhadap ojol yang sepertinya kesulitan mengantar Gala ke sini. Terik mentari menjelang siang pasti menimbulkan gerah selama perjalanan.

"Gara-gara aa ini, anuku masih ngeganjel padahal udah setor tadi."

Lilis menggeleng-geleng tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Namun, wanita itu kembali menatap aa ojolnya dan berkata, "Makasih udah nganter ponakan Ibu kemari, ya, Jang (Nak dalam bahasa Sunda)."

Kekehan rikuh terdengar. "Sawangsulna, Bu." (Sama-sama, Bu.)

Lilis tersenyum. "Ya udah. Gala, masuk, yuk!" Wanita itu mengelus perutnya yang membesar dan menuntun Gala ke dalam.

Gala masih menganjurkan bibir ke depan ketika dua cangkir teh hangat dan biskuit terhidang di meja. Lilis hanya bisa menarik kedua sudut bibir mengamati tingkah keponakannya.

"Jadi," Lilis menarik napas panjang sembari duduk di samping Bayu, bocah yang merupakan anak sulungnya, "Alo (panggilan untuk keponakan) beneran masuk SMANSATAS? Katanya kudu lihat nilai UN SMP, nilai rapor, sama nilai ujian harian, 'kan? Pinter pisan kamu."

Pujian Lilis membuat Gala mengulum senyum teringat masa-masa ujiannya. Bisa dibilang, dia paling lemah di pelajaran Matematika. Ada empat puluh soal, tapi yang mampu dikerjakan bisa dihitung satu tangan. Sisanya baca Al-Fatihah, kalau tidak, menghitung kancing baju.

Alhasil, bermodalkan paha yang indah, Gala menulis sontekan kala UN Matematika berlangsung. Sialnya dia tetap tak menemukan jawaban. Berteriak putus asa seperti sakit jiwa hanya membuat orang menatap kasihan, jadi Gala bergaya sok bahagia ketika keluar kelas melewati lautan manusia. Biar dikira pintar, padahal aslinya jeblok.

"Ah, nggak sepinter itu, kok, Bi." Gala mengambil biskuit dari piring. Mencelupkan beberapa kali ke teh dan memakannya. "Kalau ngomong tentang Matematika, aku hanya bisa cap-cip-cup kembang kempes."

"Kamu terlalu merendah." Bibir Lilis merekah. "Bayu, kamu juga harus kayak mamangmu ini. Pinter. Nggak boleh males terus, ya?"

Bocah yang juga menghabiskan biskuit bersama Gala mengangguk pelan. Cowok itu mencubitnya gemas. "Aduh, imut banget, sih. Pengin Mang cekek."

[DREAME] Jurig - Peliknya Hawa Para Penasaranحيث تعيش القصص. اكتشف الآن