[40] Thousand Pieces of Shattered Heart

13.2K 914 81
                                    

~oOo~

Seperti yang kita duga

Kita hancur bersama

Karam tak terselamatkan

Tenggelam tanpa pertolongan

~oOo~

~KIA~

"Romi, tolong halangi Kai." Aku mendorong Romi ke ruang tunggu di lobi.

Kai menungguku di sana dan aku masih enggan menemuinya meski telah berhari-hari berlalu tanpa komunikasi. Kepalaku belum bisa dingin. Hatiku masih berkeping menyadari bahwa aku hanya tameng tak kasat mata yang membentengi Kai dari Kania. Kini aku hanya pihak penghalang di antara mereka. Sadar benar bahwa hubunganku dan Kai hanya pelarian dua orang gila, tanpa rasa cinta. Aku cukup tahu diri, meski sakit hati.

Aku berbalik pada Renata yang tengah mencangklongkan tas, bersiap pulang. "Gue ikut mobil lo." Aku menggamit lengan Renata, tanpa persetujuan.

"What the hell is going on, Kia?" Dia berusaha mematahkan rengkuhan tanganku, tapi aku berkeras.

"Sesuatu yang lo harapkan, bukan?" lirihku tak acuh, memasang wajah sedatar yang aku bisa. Aku mendorongnya untuk berjalan lebih gegas.

"Tapi kata Nathan kalian..." Renata menggerak kedua tangannya saling menjauh. Dia membuka pintu mobil dan aku duduk di samping kemudi.

"Ren, harus gue tegasin berapa kali. Gue sama dia udah selesai."

Renata urung menyalakan mesin mobilnya. Dia menyerong ke arahku. "Tapi lo hamil, Kia!"

"Lalu kenapa kalau gue hamil?" Aku menatapnya tajam. Gumpalan amarahku tertahan di dada dan buru-buru kutelan. Aku mengalihkan tatapan dari Renata lalu memejamkannya.

"Membesarkan anak itu berat, Kia."

"Terus mau lo apa sih, Ren?!" Aku nyaris menjerit. "Hidup gue sama Kai sudah berantakan. Nggak cukup bikin lo puas? Gue harus jadi berengsek dengan masukin Nathan ke hidup gue lagi?"

"Nathan siap, kan, sama konsekwensinya?"

"REN!" bentakku. Memasukkan Nathan dalam kehidupanku hanya membuat segalanya lebih berantakan. Aku menelan kembali kemarahan atau pendapat apa pun. Tidak ada pentingnya bercerita tentang kegelisahan kita pada orang lain. Renata tahu sedikit hidupku dan itu membuat semua lebih rumit. Dia punya definisi hal terbaik yang berbeda  denganku. "Sori," aku memelankan suara. "Kita jalan dulu, Ren. Sebelum Kai ke atau wartawan ke sini."

Mobil diisi keheningan. Aku baru bersuara ketika Renata berinisiatif mengarahkan mobil ke arah rumah Kai yang berlawanan arah dari rumahnya dan apartemen gue.

"Jalan ke arah rumah lo aja. Gue di apartemen sekarang."

Bibir Renata membuka tanpa suara. Lewat ekor mata, aku melihatnya memasang raut tak habis pikir dan kebingungan. Kemarin-kemarin, aku lebih sering numpang mobil Reno—dia tidak membuatku selalu terpojok seperti saat menghadapi Renata—atau memanggil taksi daring jika merasa aman dari kejaran wartawan. Renata hanya tahu aku hamil dan berita-berita di media bergulir sesukanya. Selebihnya aku bungkam. Aku tak pernah nyaman membicarakan diriku dengan orang lain. Tidak pernah. Kecuali saat mabuk di pertemuan pertamaku dengan Kai.

Mengingat nama itu, dadaku terasa sakit. Aku terus terus mengalihkan pikiran ketika otakku mulai berpikir tentang bagaimana semua ini nanti akan diakhiri. Tanganku memegang perut dan rasanya aku bisa kuat menjalani semua ini.

Winterhearted (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora